Ketika membuat SIM, apakah kita hanya membayar sesuai aturan? Ketika pengusaha properti ingin mendapatkan IMB, apakah dia hanya membayar sesuai aturan? Ketika kontraktor ingin mendapatkan proyek, apakah dia tidak mengeluarkan uang untuk pemegang proyek?
Jawaban atas beberapa pertanyaan itu hampir pasti: tidak. Setiap kita mengurus berbagai kepentingan yang berhubungan dengan aparat pemerintah, kita selalu mengeluarkan uang ekstra. Mungkin ada instansi atau daerah yang sudah steril dari hal seperti itu, tapi jumlahnya masih sangat kecil.
Memberi uang yang tidak semestinya seperti itu tampaknya sudah menjadi budaya. Begitu pula dalam urusan bisnis. Budaya suap menyuap, sogok menyogok, atau apa pun istilahnya sudah begitu melekat dalam kehidupan kita. Tak ada suap, urusan akan terbengkalai. Tak ada suap, proyek menguap.
Seberapa parah Indonesia dalam masalah suap ini? Transparansi Internasional (TI) baru saja melakukan survei tentang kecenderungan pebisnis melakukan penyuapan. Survei dilakukan terhadap 3.016 eksekutif bisnis di 28 negara. Dengan disodori skor berskala 0-10, para eksekutif itu memberi skor pada masing-masing negara. Angka 0 berarti budaya suap sudah parah, sedangkan 10 nyaris tak ada suap.
Hasil survei ternyata menempatkan Indonesia dalam empat besar peringkat terburuk, yakni di urutan ke-25, berikutnya adalah Meksiko, Ci na, dan terakhir Rusia. Indonesia memperoleh skor 7,1, lebih rendah dari skor rata-rata yang 7,8. Sementara negara yang memiliki skor tinggi, urutan pertama Belanda, diikuti Swiss, Belgia, Jerman, dan Jepang.
Lalu Bagaimana dengan Manggarai Barat??
Praktik penyuapan dilakukan dalam berbagai modus, seperti suap untuk memenangi tender proyek, untuk menghindari regulasi, untuk mempercepat urusan, atau untuk memengaruhi kebijakan. Ada yang mengunakan jalur kedekatan dengan penguasa (mantan TIM Sukses Pilkada), ada juga yang mengunakan kekuatan Sawerr ke pengambil kebijakan, tergantung jalur mana yang paling berpeluang.
Tak kasat Mata, tapi bukan rahasia untuk kalangan kontraktor, ada upeti yang harus disetor untuk memuluskan urusan. Besarnya upeti terkadang tergantung dari besarnya nilai proyek yang ingin di kerjakan. Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa praktik penyuapan masih begitu membudaya.
Upeti sebagian dibayar dimuka, saat pejabat mengikuti proses PILKADA. Besarnya upeti untuk dana politik sang calon akan mempengaruhi besarnya nilai proyek sebagai kompesasinya. Dimanggarai barat para penyetor Upeti menjarah proyek proyek pemerintah. Aturan transparansi, bersih dan bebas KKN menjadi kicauan tak berarti.
Belakangan muncul berbagai "kicauan" hubungan Bupati, Agustinus Christoforus Dula dengan wakilnya Gaza Maksimus retak termasuk "gerbong" lantaran pembagian jatah proyek. Muncul saling tuding anatara "gerbong".
Tidak hanya itu, keluarga orang nomor satu dan nomor dua manggarai barat ini tak tinggal diam. mereka ikut memburuh proyek yang ada setiap tahun anggarannnya. Mulai dari adik, adik ipar, menantu hingga kerabat jauh. Bermodalkan hubungan keluarga dengan sang bupati/wakil bupati orang orang brengsek ini menjarah proyek proyek yang ada di setiap SKPD.
Benarkan Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch Dula memiliki kemampuan mewujudkan birokrasi yang bersih seperti yang perna dikumandangkan sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar