Minggu, 12 Februari 2012
Namanya Bu Inah
BU INAH. Perempuan asal Yogja. Usia 45 tahun. Umur 14 tahun ia menikah dengan lelaki asal Pati, Jawa Tengah di Jakarta. Sejak itu, mereka tinggal di ibukota yang riuh rendah itu. Suaminya bekerja sebagai sopir bajaj. Ia sering mangkal di pasar PSPT Tebet Timur Jakarta dari jam enam pagi sampai jam dua siang. Pendapatannya sebagai sopir bajajkian hari kian tak menjanjikan karena kalah dengan jasa ojek yang sudah merebak ke mana-mana. Orang kini lebih memilih ojek ketimbang bajaj karena lebih cepat dan sedikit lebih murah.
Kalau sedang ramai, ia memperoleh penghasilan antara Rp40.000 sampai Rp50.000 per hari. Uang itu ia pakai untuk bayar setoran Rp20.000. Sisanya baru dibawa pulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau sedang sepi, penghasilannya hanya cukup untuk bayar setoran. Sebenarnya ia ingin menarik bajaj sampai larut malam untuk tambahan nafkah, tapi tubuhnya sudah menua dan kesehatannya makin buruk. Sekarang ia sering sakit batuk.
Untuk membantu ekonomi keluarga Bu Inah bekerja membersihkan kantor kami dari jam sembilan pagi sampai jam 11 siang. Untuk memperoleh Rp250.000 per bulan, tiap pagi ia bekerja menyapu, mengepel, melap perabot, mencuci piring dan gelas serta menggosok kamar mandi. Tiap pagi ia berangkat kerja dengan berjalan kaki dari rumahnya ke kantor kami.
Sapaan “Assalamualaikum” setiap pukul sembilan pagi makin akrab di telinga kami. Sebentar kemudian, seraut wajah perempuan setengah baya muncul dari balik pintu depan kantor kami. Meskipun belum ada satu bulan ia bekerja di kantor kami, kami mulai hafal dengan nada sapaannya. Sekedar sopan santun, kutanyakan di mana ia tinggal saat ini. Suaranya datar, jadi pemula kehadirannya dan kebiasaannya yang membuat kami tahu, ia akan segera memulai pekerjaannya. Tak kupedulikan benar apa jawabannya atas pertanyaanku. Namun, aku rasakan dari tanggapannya, di balik wajahnya yang pendiam tersimpan keramahan dan kerendahan hati yang kuat. Sambil mengayuhkan gagang sapu, ia menuturkan banyak hal dengan lugas. Tak ada kesan sama sekali, ia minta dikasihani.
“KONTRAKAN kami tidak bagus. Sering banjir, bahkan pernah kami sekeluarga tidak tidur semalaman karena banjir tahun ini. Kalau banjir kami harus nawu agar cepat kering,” kata Bu Inah. Ia tinggal di lingkungan kumuh, padat penduduk, di pinggir rel kereta api di kawasan Tebet Timur. Perempuan warga kampung itu kebanyakan bekerja sebagai pembantu, dan laki-laki jadi tukang ojek, sopir taksi, buruh bangunan, dll.
Begitulah nasib warga miskin di Jakarta. Tinggal di sebuah tempat yang jauh dari layak. Meskipun sering tidak tenang karena dihantui banjir, Bu Inah tak bisa berbuat apa-apa. Ia dan keluarganya hanya mampu mengontrak rumah petak seharga Rp120.000 per bulan. Kontrakan itu berupa satu kamar ukuran 3×4 meter persegi yang ia gunakan untuk tidur sekaligus tempat memasak dan makan. Tiap pagi Bu Inah dan keluarga harus antri mandi gantian dengan 30 keluarga lainnya. Pemilik kontrakan hanya menyediakan dua kamar mandi dan sebuah sumur berupa pompa dragon untuk kebutuhan air 30 keluarga sekaligus. “Kalau mau yang tidak banjir, ya harus sewa yang lebih mahal seharga Rp250.000.”
Saat ini Bu Inah dan suami serta empat anaknya tinggal di tempat tersebut bersama-sama. Anak pertamanya sudah menikah dan tinggal dengan suaminya di rumah petak sejenis di dekatnya. Anak kedua bekerja di sebuah salon, anak ketiga bekerja sebagai pramuniaga di sebuah mal, anak keempat masih duduk dibangku SMP, dan anak terakhir masih duduk dibangku SD. Ia juga sudah lupa kapan terakhir ia pulang ke daerah asalnya. Selain karena ia dan anak-anaknya tinggal di Jakarta, masalah ongkos transpor menjadi pertimbangan untuk tidak pulang ke daerah asal. Untuk kebutuhan sehari-hari ia biasanya memerlukan Rp30.000 untuk makan, kebutuhan rumah tangga, transportasi, sumbangan orang hajatan, dll. Pada musim orang ramai hajatan, ia bisa mengeluarkan sumbangan sampai empat kali sebulan.
Meskipun keluarganya memiliki KTP Jakarta, keluarga Ibu Inah tidak menerima bantuan dari pemerintah baik berupa beras untuk rakyat miskin maupun bantuan kompensasi BBM. Begitu juga 30 keluarga lain yang tinggal di lingkungannya, tak ada satu pun yang menerima bantuan. Mereka kebanyakan berasal dari Tegal dan Inderamayu dan sudah memiliki KTP Jakarta.
DENGAN segala keterbatasan itu, Ibu Inah terus melangkah dalam kehidupan ibu kota ini. Tangannya tak berhenti mengayuh sapu dan kain lap. Bu Inah selalu tersenyum setiap akan pamit seusai bekerja. Senyum dan wajahnya yang berkeringat adalah pertanda rasa ikhlas atas jerih payahnya dalam menciptakan suasana bersih di kantor kami. Dan mungkin dengan senyum tulusnya itu pula selama tiga puluh tahun ia arungi rimba Jakarta yang makin beringas ini.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar