Anak-anak Jalanan. Banyak dari mereka yang terbuang, atau barangkali sengaja dibuang. Sebabnya ada banyak, misalnya beban hidup orang tuanya yang menghimpit perih, kelahirannya yang “tak diinginkan”, bisa juga karena kekacauan hubungan ibu bapaknya yang setiap waktu memekakkan telinga, hingga mereka pun memilih pergi dan tak pernah ingin kembali, dsb.
Anak-anak itulah yang kemudian berserak di sana sini tak terurus dan tak kita urus. Dari satu satu pintu ke pintu lain, mereka bergerak mengharapkan iba. Telapak tangannya yang terbuka dan penuh debu itu meminta “roti” demi menyambung nafasnya.
Berpencaran pula mereka di setiap simpang jalan untuk menarik belas kasih dari para pengendara. Tak sedikit dari mereka yang kemudian mengais sisa makanan di tempat-tempat sampah. Pada panjang trotoar tempat mereka berebah, atau pada lantai basah emperan pertokoan tempat mereka pejamkan mata, mereka yang masih belum beruntung pun menekuk lututnya hingga nyaris rapat dengan dadanya –sekedar untuk menahan rasa laparnya yang sangat dalam di dinginnya malam.
Adakah yang demikian tersebut masih terdapatkan sampai hari ini? Potret sosial di depan mata kita tampaknya belum menyatakan usai. Masih amat banyak dari mereka yang berhambur di jalanan, kolong-kolong jembatan, emper-emper pertokoan, bahkan di sekitaran atau tak jauh dari pusat-pusat kekuasaan di negeri ini, dari atas hingga bawah.
Ahai negeriku, di atas tanahmu yang subur makmur ini, rupanya masih bisa membiarkan ribuan "anak kandung"nya sendiri terlantar di jalanannya, kisah pilunya malah cenderung berepisode?
Kisah Pilu Yang Berkelanjutan
Kecenderungan bertambahnya angka keterlantaran anak jalanan, menjadi Kisah Pilu Yang Berkelanjutan, juga disuburkan oleh kekurangpedulian kita serta tata kelola negeri atas sumberdaya alamnya yang belum mampu menjamin penghidupan warganya.
Cobalah kita lihat, betapa tanah negeri sesungguhnya telah berpuluh-puluh tahun dibiarkan jatuh ke tangan asing dengan hanya sepotong “kue kecil” darinya yang bisa kita nikmati. Dari secuil “kue kecil” ini pun sebenarnya tak banyak dari warganya yang bisa turut merasakan lezatnya.
Lalu ada laut. Bebetangan lautan kita yang begitu luas dan kaya. Adakah darinya telah dapat kita sanggupkan untuk menahan periuk warganya agar tak keseringan goyang, bahkan kosong? Tetap saja ribuan “anak sampah” yang “berebut sisa dengan cacing dan burung” itu, demikian Ebiet pernah melirikkannya, masih menjadi potret yang memilukan hati serta membuat mata kita tak henti berkaca-kaca –satu potret yang sungguh amat kontradiktif.
Hal lainnya lagi, bersekolah dengan biaya tinggi misalnya, yang tak seimbang dengan tingkat pendapatan para orang tua. Bukankah hal ini dapat juga menjadi pengintai sekaligus "sarana" bagi semakin berseraknya "anak sampah" di negeri ini?
Gratis untuk sekolah paket sembilan tahun, tampaknya pun masih setengah hati (pada tahap implementasinya). Kekurangan biaya untuk kelengkapan sarana belajar mengajar, maupun dukungan untuk peningkatan kualitas, merupakan satu dua alasan sebagai argumentasi pihak sekolah untuk menarik sumbangan “sukarela” dari para orang tua wali murid.
Nilai dari sumbangan “sukarela” yang ditarik oleh pihak sekolah, tidaklah murah dan memberatkan orang tua warga yang masih dalam himpitan kekurangan. Apa yang kemudian bakal terjadi dengan “kemauan baik” sekolah seperti ini? Adalah semakin banyaknya anak putus sekolah di tingkat dasar atau menengah, untuk kemudian bila tak menemukan media yang tepat (dalam tanda kutip keberuntungan), mereka pun bergabung bersama saudara-saudaranya yang lain di jalanan. Kisah Piluh ini akan berkelanjutan, siapa peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar