MENYAKSIKAN penayangan sebuah stasiun televisi swasta, Rabu pekan silam, hati ini serasa diiris. Potret kemiskinan dari satu keluarga di pinggiran kota Garut Jawa Barat itu disuguhkan cukup memprihatinkan sehingga sang ayah yang tidak punya pekerjaan tetap itu harus bekerja keras untuk mempertahankan kehidupan keluarganya.
Dua anaknya yang masih duduk di bangku SLTP bingung karena uang beli buku di sekolah sebesar Rp 80.000 belum terbayarkan kedua orang tuanya. Dari hasil mencari kura-kura di sungai Cimanuk, ayahnya baru berhasil menyisihkan Rp 15.000 yang artinya masih kurang Rp 65.000 lagi.
Sang ayah tidak berhenti. Dia terus memutar otak untuk bisa membayar utang buku anaknya di sekolah sebesar Rp 80.000 tadi. Jika siang mencari kura-kura di sungai, malam hari mencari kodok atau ular di semak-semak, yang penting bisa dijadikan uang.
Ini adalah potret kemiskinan sebagian rakyat Indonesia yang berada di pinggiran kota, walau sebenarnya lokasinya tidak begitu jauh dari ibukota Jakarta. Dan potret kemiskinan ini bisa jadi mewakili puluhan juta rakyat Indonesia miskin lainnya.
Hanya untuk membayar utang buku senilai Rp 80.000 saja, warga negara yang ikut serta menjadikan para wakil rakyat duduk di kursi empuk di Senayan sana, harus banting tulang. Mengumpulkan uang senilai Rp 80.000, susahnya setengah mati bagi masyarakat miskin ini.
Bandingkan dengan para petinggi Indonesia yang bermukim di kota-kota besar seperti Jakarta. Sebutlah misalnya pemborosan yang terjadi di gedung DPR dari mulai merenovasi WC, lapangan parkir sepeda motor, ruang rapat Badan Anggaran serta pengadaan tissu dan wewangian ruangan, nilainya sangat signifikan, menelan biaya puluhan miliar rupiah. Paradox.
Bisa kita bayangkan, betapa mirisnya hati sang ayah miskin ini, jika dia tahu kalau wakilnya di gedung DPR, hanya untuk memperbaiki WC saja harus mengeluarkan uang puluhan miliar rupiah. Demikian juga untuk membeli bahan pewangi ruangan, harus mengeluarkan biaya yang nilanya juga miliaran rupiah.
Sementara itu, untuk beli buku anaknya saja dan nilainya hanya Rp 80.000, dia tidak mampu. Kendati sudah diusahakan melalui pencarian kura-kura dan kodok serta ular, pekerjaan itu tidak mampu mengumpukan uang Rp 80.000.
Bandingkan pula dengan aksi para koruptor yang dengan gampang membantah dirinya tidak terlibat padahal sudah bergelimang uang rakyat, termasuk uang yang seharusnya menjadi haknya sang ayah miskin di Garut tersebut.
Pertanyaannya, masih bunyikah suara hati para koruptor dan para petinggi negeri ini yang dengan gampang menghambur-hamburkan uang rakyat dan tanpa ada rasa malu melenggang kangkung seperti orang tidak berdosa. Tidak berhenti sampai di situ, malah banyak di antara pelaku koruptor itu ingin tampil lagi menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini, lebih tinggi lagi dari jabatan yang dipangkunya saat ini.
Untuk menyembunyikan aksi koruptornya, tidak sedikit dari antara mereka yang mencoba membersihkan diri melalui perlawanan kata-kata, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh kelompoknya. Terlihat memang, para koruptor kelas kakap itu seolah kebal hukum. Sengat hukum tampaknya tidak mampu menyengat mereka.
Abdi hukum-pun seolah tidak berani menegakkan supremasi hukum kepada para koruptor itu. Namun kepada pencuri sendal, pencuri pisang, pencuri semangka dan pencuri kakao, gebrakan para penegak hukum teramat dahsyat.
Nah, adakah diantara penguasa negeri tercinta ini, khususnya para koruptor yang masih mau membayangkan penderitaan rakyatnya di ujung desa sana. Atau mereka sudah tidak peduli sebab sudah berkuasa lima tahun. Nanti saja kalau menjelang kampanye para calon pemimpin mengumbar janji-janjinya di hadapan rakyat-rakyat miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar