Headline

1.341 Pejabat Publik Daerah Terlibat Korupsi * Bruder "Preman" Pontianak * Petani Kopi Bajawa Kesulitan Modal * Coffee Manggarai: Black Gold * Tradisi “Suap” dan "memburu" proyek * Kota Labuan Bajo Terus Berkembang *

Minggu, 26 Februari 2012

"Tidur Pun Kami Digaji”

Membaca berita tentang kelaparan di NTT di tengah boomingkasus korupsi negara ini, mengingatkan saya pada kelakar warga miskin di NTT tentang berbagai bantuan yang mereka terima dari pemerintah. Salah satu kelakar yang menarik untuk disimak adalah ‘tidur pun kami digaji’.

Bisa saja kelakar seperti itu ditanggapi sekadar sebagai kelakar. Namun kelakar yang disampaikan dengan nada ironis dan satiris seperti itu sebenarnya adalah kritik tajam yang ditujukan pada kita semua. Disadari atau tidak, kita telah menghidupi sebuah sistem yang bernama ‘tidur pun kami digaji’. 

Anak-anak NTT terus diancam persoalan Gizi Buruk

Defisit Kepercayaan Diri
Penanggulangan kemiskinan selalu tertulis sebagai prioritas program pemerintah. Namun dalam praktiknya program penanggulangan kemiskinan cenderung lebih banyak berdimensi jangka pendek dan berkerangka emergency, seperti yang terjadi pada beras untuk rakyat miskin (raskin), bantuan langsung tunai (BLT), pemberian makanan tambahan (PMT), dan berbagai bantuan lainnya.

Beragam bantuan itu bisa jadi dimaksudkan untuk dapat membantu meningkatkan  produktivitas program pemberdayaan bagi kelompok miskin. Namun tidak seperti itu yang terjadi di lapangan. Beragam bantuan yang diberikan dengan mengabaikan sistem sosial ekonomi budaya lokal telah menciptakan kondisi ketergantungan di kalangan warga miskin, yang mengarah pada defisit kepercayaan diri untuk bisa keluar dari kondisi miskin. Kelakar ‘sawah kami di Jakarta’ adalah salah satu cerminnya. Ini bukan  sekadar kelakar karena yang terjadi di kabupaten Flores Timur, misalnya, bantuan dalam kerangka Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) membuat petani mengurangi kerja kebun. 

Di beberapa kabupaten lain seperti Manggarai dan Sumba Timur, kucuran bantuan dalam kerangka PNPM melemahkan organisasi komunitas yg selama ini telah membuktikan diri mampu mengatasi masalah pangan dan gizi secara mandiri.  Studi tentang penanganan masalah gizi di sembilan kabupaten di NTT yang dilakukan Institute Ecosoc salah satunya menemukan berbagai bentuk kelakar yang substansinya adalah ‘tidur pun kami digaji’.
Karakter Sosial?
 “Tidur pun kami digaji” bukanlah monopoli kelompok miskin. Ada indikasi, defisit kepercayaan diri itu telah menjadi bagian dari karakter sosial masyarakat kita, terlebih elit politik. Posisi Indonesia sebagai negara terkorup di kawasan Asia Pasifik adalah salah satu indikasinya. Hanya dengan modal jabatan atau sedikit wewenang, birokrat dan pejabat bisa dengan mudah mendapatkan milyaran rupiah dalam tempo singkat. Lihat saja bagaimana seorang PNS bergolongan III A bisa menjadi makelar kasus dan meraup milyaran rupiah dengan begitu mudah. Akibatnya, setiap tahun tidak kurang dari 140 triliun uang pajak kita raib begitu saja.

Penghasilan dan kekayaan wakil rakyat pun bisa meningkat demikian cepat.  Padahal kinerja dan prestasi mereka belum bisa dikatakan pantas untuk mendapatkan lipatan kekayaan. Layakkah disebut ‘bekerja’ bila mayoritas produk kebijakan yang mereka hasilkan tidak berbicara soal kesejahteraan rakyat?. Padahal sangat besar kekuasaan mereka dalam sistem politik sekarang. Anggaran Rp 1,8 triliun untuk membangun gedung baru, misalnya, bisa dengan mudah mereka dapatkan di tengah kondisi rakyat yang kelaparan.

Kalaupun  tidak bisa disebut korupsi, fenomen peningkatan kekayaan pejabat  dan wakil rakyat tanpa didasari oleh peningkatan kinerja dalam memberi nilai tambah pada kesejahteraan rakyat sama artinya dengan ‘tidur pun kami digaji’. Sebab apa yang diklaim sebagai ‘bekerja’ tak lebih dari siasat untuk meningkatkan penghasilan  bagi diri sendiri, keluarga, kelompok atau pun partai. Padahal pekerjaan utama mereka sebagai pejabat publik adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat.  

Demikian pula dengan para konglomerat, tidak terlepas dari fenomen ‘tidur pun kami digaji’. Mereka bisa meraup keuntungan berlipat dan bahkan menjadi orang terkaya, padahal kewajiban pajaknya bermasalah, upah buruhnya tak cukup untuk hidup, buminya dirusak, isinya dikeruk dan orang-orang terancam kehilangan hak hidupnya. Pantaskah konglomerat semacam ini mendapatkan keuntungan berlipat ketika yang mereka sebut ‘bekerja’ itu nyatanya tidak memberi nilai tambah pada kesejahteraan buruh, kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan daya dukung lingkungan?. Betapa mudahnya kita menyerap iklan ‘biarlah uang bekerja untuk kita’, tanpa menyadari bahwa dengan cara seperti itu kita telah menghidupi sistem ‘tidur pun kami digaji’.

Rapuhnya Generasi
Fenomen ‘tidur pun kami digaji’ tidaklah muncul secara kebetulan dari  tindakan orang per orang. Fenomen itu berakar pada sistem ekonomi politik kita yang tidak berorientasi pada kepentingan jangka panjang.  Betapapun pemerintah menjadikan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas, namun toh kebijakan pemerintah lebih banyak mengarah pada stabilisasi ekonomi makro, inflasi, nilai tukar, indeks harga saham, dan liberalisasi ekonomi, yang tidak berdampak signifikan pada pengembangan sektor riil, pengurangan pengangguran dan jumlah orang miskin. Yang terjadi, sistem ekonomi politik yang dijalankan pemerintah menciptakan dominasi kaum superkaya terhadap perekonomian Indonesia. Ini tercermin dari data penguasaan dana simpanan di bank. Dari sekitar Rp 1.380 triliun dana pihak ketiga di bank pada akhir Juli 2007, 80 persen dikuasai hanya oleh 1,82 persen pemegang rekening.

Sistem ekonomi politik kita pada kenyataannya dijiwai oleh semangat ‘tidur pun kami dibayar’. Kalangan atas diberi kemudahan dengan berbagai kebijakan, kelompok bawah ditenangkan dengan berbagai bantuan. Kondisi seperti ini saya kira tidak hanya akan berdampak pada kian lebarnya kesenjangan sosial tetapi lebih jauh lagi juga akan membentuk karakter anak-anak kita. Sebab sistem semacam itu akan  menjauhkan anak-anak kita dari semangat kerja keras, kreativitas, percaya diri dan daya juang dalam menanggapi tantangan.

Pernahkah kita bertanya soal tingginya kasus bunuh diri di kalangan remaja dan anak-anak, yang menggambarkan kerapuhan generasi sekarang dalam menghadapi tantangan? Lihatlah betapa mudahnya mereka memutuskan bunuh diri ketika gagal ujian nasional. Kita patut curiga, sistem ‘tidur pun kami digaji’ yang kita hidupi selama ini telah melahirkan generasi rentan dan miskin daya juang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar