Headline

1.341 Pejabat Publik Daerah Terlibat Korupsi * Bruder "Preman" Pontianak * Petani Kopi Bajawa Kesulitan Modal * Coffee Manggarai: Black Gold * Tradisi “Suap” dan "memburu" proyek * Kota Labuan Bajo Terus Berkembang *

Minggu, 05 Februari 2012

ANBi “Goyang” FX Mall Jakarta


Dalam Launching Gerakan Voice From The East (VOTE)

Jakarta-Suasana  FX Mall Daerah Sudirman Jakarta tiba tiba berubah, Ratusan pengunjung dalam acara Launching Voice From The East (VOTE ) tak sangup menahan diri, tiba tiba berdiri bergoyang saat lagu lagu Khas Nusa Tenggara Timur didendangkan. Berdesak-desakan tak membuat membuat mereka mengurungkan niat untuk bergoyang khas NTT.

Boy Clemens Bersama Anak anak ANBi "Goyang" FX Mall dengan lagu lagu NTT
Anak NTT Bermusik (ANBi) saat itu benar benar menaburkan virus. Irama music NTT yang dimainkan menarik perhatian, hingga Pakar Komunikasi sekaligus aktifis social, Efendi Gosali, sekertaris Esekutif Komisi HAK KWI, Romo Benny Susetyo dan sejumlah aktifis LSM ikut bergoyang, berpegangan tangan, menari bersama dan berdesakan diantara ratusan pengunjung seolah tak ada perbedaan ras, suku, agama.  Malam itu musik NTT telah menendang jauh perbedaan yang selama ini merusak kebersamaan. Nampak raut wajah ratusan anak bangsa dalam ruangan itu nampak gembira menikmati musik NTT yang telah mempersatukan semua rasa. Boy Clemens Vocalis ANBi saat itu terpaksa harus berulang ulang menyanyikan lagu Lui E, agar ratusan orang ini bisa terus berdendang.

Awalnya ANBi hanya diberi kesempatan menyanyikan 3 buah lagu dalam waktu 15 menit. Namun ketika lagu Pertama “mari berpesta” baru saja dinyanyikan suasana berubah, pengunjung baik warga local maupun turis asing satu persatu berahan berdiri ikut menari bersama bersama para penari asal Ende Lio, mereka berdesakan mengkuti tarian ende lio hingga berdesak desakan. Waktu yang sebelumnya 15 menit menjadi 35 menit.

Selain warna musik malam itu ANBi juga menunjukan kekhassan busana NTT, Para penari Asal Ende Lio mengunakan busana Ende lio lengkap dengan alat musiknya, ada juga yang hanya mengenakan sarung Khas sabu, sarung khas Manggarai, selendang Nagekeo, sumba, Timor, Flores Timur melingkat di leher serta diikatkat pada kepala. Ratusan pasang mata tentu saja tertuju pada kekhasan ini.

Busana ANBi seolah mengkritik budaya gaya Hedonisme, “menampar” nurani pengunjung yang terjangkit virus metropolitan dan lupa akan tradisi budaya. Sekaligus ANBi juga mau menunjukan kearifan Budaya NTT dan  protes terhadap sikap bangsa ini akan kondisi kemiskinan di wilayah NTT.

Matahari Yang Memberi Harapan Telah Bersinar

Pengagas VOTE, Glenn Fredly mengatakan VOTE (Voice From the East) merupakan sebuah gerakan kampanye sosial untuk mengembalikan martabat kemanusiaan, perdamaian, kesejahteraan, pelestarian lingkungan, demokratisasi serta merawat keberagaman dan budaya di Indonesia Timur.

Anak anak ANBi memberi warna baru musik Indonesia
Laguna biru cerah hamparan, Lui E, Bolelebo, pasir putih, tarian lumbalumba di pesisir pantai, pekik burung camar dan kerimbunan nyiur melambai menaungi deretan rumah panggung di pulau-pulau di bagian timur Nusantara. Tabuhan tifa, totobuang, denting gitar dan nyanyian rakyat di kala bulan purnama adalah keseharian kehidupan rakyat Indonesia Timur. Keindahan alam dan persaudaraan sesama manusia adalah wajah asli Indonesia Timur.

Namun, tawa-ria dan kebahagiaan anak-anak dan remaja di Indonesia Timur di Papua, Maluku, Sulawesi
dan NTT kini berganti dengan tangis serta tanda tanya besar menanti masa depan mereka akibat kehancuran hutan, laut dan pertambangan yang turut membawa pemiskinan, pembodohan, wabah penyakit hingga merebaknya HIV-AIDS di kampung-kampung terpencil. Kerusakan diperparah dengan korupsi sistemik dan pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai sisi kehidupan. Relasi kekerabatan dan persaudaraan turut dirusak akibat kerusuhan sosial di Poso, Ambon dan Maluku Utara yang menjadi dagangan politik bagi segelintir orang. Operasi keamanan oleh aparat telah mengikis makna menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang diakui harkat dan martabatnya. Upaya pemulihan pasca-konflik dengan pendekatan keamanan memakan waktu yang lama dan menyisakan luka sosial dan trauma bagi masyarakat.

Romo Beni Susetyo mengatakan VOTE bertujuan membuka mata batin masyarakat Indonesia tentang kekerasan modal dan penguasa yang telah menghancurkan tatanan sosial dan hak masyarakat serta lingkungan untuk hidup dalam harmoni seperti sediakala ketika negeri ini diproklamasikan yakni mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Vote bermaksud membangun kesadaran masyarakat untuk mengetahui kondisi-kondisi nyata Indonesia Timur; dan meningkatkan solidaritas sosial untuk membantu Indonesia Timur dari keterpurukan serta eksploitasi alam yang berlebihan.

Kampanye ini didukung oleh kelompok seni seperti Slank, God Bless, Indra Lesmana, Seringai, Panji Pragiwaksono, Tompi, Sandy Sondoro, Jflow, EndahNRheza, The Extralarge, IYR, Matthew Sayersz, Ivan Nestorman, Endah ‘n Resha, Edo Kondologit, Ras Muhammad, Bobby ‘one way’, Franky sihombing, GMBc, The Paint Killers, Wizzow, Aldisyah, Aiko, Zee, Pallo, RockerKasarunk, Maliq n D’essenial, Boy Clemens, ANBi, Radhini, Barry Likumahuwa, Efek Rumah Kaca, Nicky Manuputy, Imel, Melanie Subono, Inspiring Signals, Alifa Feat. Raffi Feat Dima, 21st Night, Ron Kingston dan berkolaborasi dengan pegiat kemanusiaan dan lingkungan seperti ICW, Walhi, Kiara, Migrant Care, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Jatam, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, YLBHI, Imparsial, Elsam, Demos dan Foker LSM Papua.

Bahkan organisasi Internasional pun turut mendukung kampanye ini, seperti Amnesty Internasional, Greenpeace dan International Centre for Transitional Justice. Kampanye dilakukan dengan pendekatan budaya dan membangun partisipasi yang seluas-luasnya bagi siapapun, terutama bagi mereka ada di Indonesia Timur.

Eksploitasi Alam Lebih Buruk Dari Tanam Paksa Belanda

Eksploitasi alam di Indonesia Timur merupakan salah satu bentuk penjajahan modern yang lebih buruk dari praktik Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang “hanya” mengambil 20 persen hasil panen petani di Jawa untuk mengisi kas Kerajaan Belanda pada abad ke-19. Sebagai bukti, sebuah pertambangan emas di Papua yang menghasilkan minimal 300 kilogram emas setiap hari, hanya mengembalikan 1 persen atau 3 kilogram emas ke Republik Indonesia dan tentu lebih sedikit lagi yang kembali ke bumi Papua!Cerita-cerita kelam eksploitasi alam juga banyak terjadi di tempat-tempat lainnya.

Anak Belu, NTT putus sekolah kini jadi Buruh di pertambangan
Praktik pencemaran lingkungan di Teluk Buyat, mengakibatkan kerugian besar yang harus ditanggung negara dan warga Buyat. Gizi buruk yang diderita banyak warga NTT akibat tidak mampu mengonsumsi sumberdaya pangan yang baik, juga menjadi fakta sosial yang tidak pernah diketahui publik. Di sejumlah daerah pertambangan kini sudah mulai ditemukan anak-anak yang memiliki kulit bersisik sejak lahir. Di saat perusahaan tambang menutup usaha, masyarkat setempat harus hidup dengan kondisi lingkungan yang sudah hancur. Belum lagi penyakit sosial yang dibawa industri pertambangan dengan munculnya prostitusi, narkoba dan rumah tangga yang terbelah sebagai dampaknya.

Pertambangan telah menjadi magnet bagi masuknya jaringan prostitusi lintas daerah yang menambah panjang daftar penularan HIV-AIDS. Kasus Bima adalah contoh serius, ribuan warga yang hidup dari bertani bawang harus tiba-tiba terancam penghidupannya karena rencana penambangan emas. Penolakan rakyat tidak didengar penguasa yang dengan pengusaha. Aksi “kekerasan modal” yang merupakan kolaborasi penguasa dan pengusaha akhirnya disikapi dengan “kekerasan rakyat” yang tidak memiliki akses politik dan hanya memiliki darah, daging dan jiwa-raga untuk melawan. Kecenderungan kasus-kasus serupa ini terus bermunculan di Indonesia Timur mengingat minimnya akses masyarakat terhadap informasi dan keadilan.

Kehancuran Laut, Kehancuran Masa Depan
Masa depan Indonesia terdapat di laut yang merupakan 2/3 bagian dari wilayah Nusantara. Ironisnya, lautan Indonesia Timur yang indah lambat laun kini dihancurkan secara sistematis.Eksploitasi di laut dengan maraknya pencurian ikan, pembuangan tailing pertambangan hinggas pembukaan pangkalan perikanan asing yang merusak tatanan sosial serta merebaknya HIV-AIDS di masyarakat sekitar kawasan perikanan seperti di Tual, Maluku dan Merauke, Papua. Padahal sejatinya lautan di Indonesia Timur lebih dari cukup menjadi lumbung gizi dan protein. Alih-alih menjadi sumber protein dan gizi serta perekonomian yang melimpah dari penangkapan serta budidaya laut, warga Indonesia Timur seperti di Sulawesi Selatan, NTB dan NTT ramai-ramai menjadi buruh migran di Malaysia. Tangkapan ikan tuna yang melimpah dari lautan Indonesia Timur justru tidak berhasil mengangkat derajat hidup rakyat setempat.

Masyarakat Asli, Perempuan dan Anak Dikorbankan

Romo Beni Susetyo menegaskan dalam praktik pemerintahan yang korup dan bergandengan tangan dengan pengusaha hitam, otomatis perempuan dan anak di Indonesia Timur menjadi korban pertama ekspansi modal serta korupsi massal. Ketertinggalan pembangunan di Indonesia Timur menciptakan rawan pangan yang selalu terulang sehingga Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) di Indonesia Timur tercatat termasuk paling rendah di Indonesia. Sungguh memprihatinkan mengingat Indeks Pembangunan Indonesia pun sudah tergolong rendah di Asia Tenggara.


Perempuan Pulau Timor jadi Buruh tambang mangan di tanah leluhurnya
Penganiayaan adalah salah satu bentuk derita dari siksaan yang lebih parah yakni perdagangan manusia yang tak kunjung diperhatikan oleh negara. Gelombang demi gelombang buruh migran asal Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur “diekspor” ke negara tetangga. Siksaan fisik, perkosaan hingga dipaksa melacurkan diri menjadi lagu lama yang selalu terulang. Masyarakat adat sebagai payung pemersatu masyarakat

Indonesia Timur turut dihancurkan dalam serangan pemodal dan penguasa yang merusak keasrian bumi-manusia di ujung timur negeri ini. Walhasil masyarakat adat mengalami krisis identitas yang parah. Diskriminasi, penindasan dan kekerasan terutama atas budaya Melanesia dan identitas budaya Pasifik Selatan terus berlangsung. Padahal, masyarakat adat Pasifik Selatan di Fiji, Kepulauan Solomon, Samoa, Kaledonia Baru hingga Selandia Baru bisa mempertahankan identitas budaya dan hidup dalam kedamaian di tengah lingkungan alam yang asri. Belum lagi lunturnya kearifan tradisional terkait pengelolaan sumber daya perikanan, yang tidak hanya terbukti adaptif terhadap perubahan iklim, melainkan juga mengandung nilai-nilai pelestarian budaya, seperti Sasi di Pulau Haruku, Maluku; Bapongka di Sulawesi; Awig-awig di Nusa Tenggara Barat, Ola Nua di Lamalera, NTT.

Kepekaan dan solidaritas dibutuhkan untuk memulihkan rasa keadilan bermartabat bagi saudara-saudari kita di Indonesia Timur. Rangkaian cerita-cerita kelam ini harus disuarakan melalui sebuah gerakan kampanye bersama; di mana ekspresi kebudayaan melalui musik, tari dan bentuk kebudayaan lainnya digunakan untuk menyatukan ikatan sosial manusia-manusia Indonesia. Atas nama perdamaian dan persaudaraan sebangsa setanah air tanpa campur tangan elit politik dan konglomerasi hitam.Melalui Vote kami berharap bahwa semakin terbangun kesadaran masyarakat dan menciptakan gerakan publik untuk mengetahui kondisi nyata ketertinggalan Indonesia Timur; dan meningkatkan solidaritas sosial untuk mengangkat derajat hidup masyarakat Indonesia Timur seraya menjaga kelestarian lingkungannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar