Tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum, UUD 1945 memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar, menjamin pemenuhan hak-hak asasi manusia seperti hak hidup yang layak, hak atas kesehatan, jaminan sosial dan sebagainya.
Hanya saja, APBN yang semestinya bisa dijadikan sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat, justru lebih banyak digunakan sebagai bancakan para mafia. Hasilnya, cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia semakin jauh dari harapan.
Mafia Anggaran
Indikasi mafia anggaran tampak kian kuat ketika banyak pihak, terutama para korban ataupun pelaku, mulai angkat bicara soal praktek tidak jujur dalam penyusunan anggaran. Seperti yang disampaikan Nazarudin, ada puluhan mafia anggaran yang berada di berbagai kementerian, yang berasal bukan hanya dari legislatif dan eksekutif, akan tetapi juga berasal dari kalangan pengusaha serta partai politik. Kondisi ini tidak lepas dari buruknya sistem keuangan negara yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Maka, tak heran jika postur APBN kita sama sekali bertentangan dengan konstitusi yang memandatkan agar APBN digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai contoh, dalam APBN-P 2011, terdapat kecenderungan adanya proses “nego anggaran” untuk semua daerah. Sehingga, tidak mengagetkan jika daerah yang memiliki indeks kemiskinan tinggi atau dengan jumlah penduduk miskin tinggi justru mendapatkan alokasi anggaran lebih sedikit. Singkat kata, orientasi pengalokasian tidak lebih hanya sekedar bagi-bagi rata anggaran, dan tergantung pada kemampuan daerah memiliki akses atau melobi untuk memperoleh dana tersebut. Adapun modus oprandi yang digunakan adalah pelobi atau kontraktor harus menyetorkan sejumlah dana talangan dengan “sistem ijon”untuk mengerjakan proyek dari dana ini.
Kecolongan dari Pertambangan: Discount by law
Bahan tambang sebagai bagian dari material yang terkandung dalam bumi dan mempunyai nilai strategis sudah selayaknya juga dikuasai oleh negara. Hal ini diamanatkan oleh konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara. Adapun konsep “Hak Menguasai Negara (HMN)” menurut Mahkamah Konstitusi bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad). Selanjutnya, konsep HMN juga harus disambungkan dengan tujuan penguasaan negara, yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Hari ini fakta sebaliknya yang terjadi. Dalam konteks pertambangan, penerimaan negara juga mengalami kecolongan luar biasa besar. Indonesia yang mempunyai sumber-sumber kekayaan tambang yang melimpah justru tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan rakyat. Sumber-sumber kakayaan alam nusantara yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak ternyata mayoritas dikuasai asing serta menimbulkan kemiskinan bagi masyarakat setempat. Sebut saja PT. Freeport Indonesia. Setelah penguasaan sejak tahun 1967 – sekarang, dengan luas konsesi sebesar 2,6 juta ha, termasuk 119.435 ha hutan lindung dan 1,7 juta ha kawasan konservasi telah meraup untung luar biasa besar. Hal ini berkebalikan dengan kondisi masyarakat setempat, di mana 83,3% rumah tangga di Papua masih dalam selimut kemiskinan.
Di sisi lain, dari 6000 izin pertambangan milik perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia, sekitar 30 persen di antaranya bermasalah atau belum mau melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan. Ironisnya lagi, pemerintah tidak berani mengambil tindakan sepihak terhadap perusahaan pertambangan asing yang masih enggan merenegosiasi dengan dalih tidak ingin juga mencederai kontrak yang sudah ada. Padahal, jelas-jelas kontrak karya yang telah ada tersebut bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undang di Indonesia, semisal Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2003 Tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Kerangka legal-konstitusional
Konstitusi Indonesia dengan tegas mengakui hak-hak dasar warga negara, seperti hak atas pekerjaan, hak atas kehidupan yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas pendidikan dan lain sebagainya. Bukan hanya menjelaskan adanya hak konstitusional, UUD 1945 kemudian mengamanatkan bahwa keuangan negara yang tersusun dalam APBN bisa digunakan dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar tersebut atau dengan kata lain, APBN harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selanjutnya, konstitusi juga memberikan ruang kepada rakyat untuk memperjuangkan dan menuntut hak-haknya, salah satunya adalah melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam konteks anggaran yang telah tertuang dalam Undang-Undang APBN, mekanisme judicial review adalah salah satu alternatif yang bisa dipilih apabila disinyalir kuat bahwa keuangan Negara dalam penyusunan dan penggunaannya bertentangan dengan mandat “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Seperti yang terjadi hari ini, anggaran yang semestinya dialokasikan untuk pemenuhan hak-hak dasar warga negara, justru lebih banyak terserap untuk penganggaran yang jauh dari kebutuhan rakyat. Sebut saja, anggaran untuk sektor kesehatan. Melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang APBN-P, kesehatan hanya dianggarkan sejumlah 1,94%, jauh di bawah batas minimum yang telah diperintahkan Undang-Undang Kesehatan, yaitu sekurang-kurangnya 5% dari APBN. Di sisi lain, Partai Politik yang selama ini cenderung tidak mempunyai persentuhan dengan kepentingan rakyat, justru mendapat alokasi anggaran yang luar biasa besar, yaitu sejumlah Rp. 500 milyar per Parpol setiap tahunnya.
Sesungguhnya, situasi ini telah berlangsung menahun. Namun, belum pernah ada upaya hukum secara serius yang dilakukan dalam rangka menghentikan dan menindaknya. Di sisi lain, sangat besar kemungkinan bahwa mekanisme penyusunan anggaran yang dimainkan para mafia ini akan berlanjut pada APBN tahun-tahun berikutnya.
Hanya saja, ketika dilakukan upaya hokum melalui judicial review, terdapat satu masalah tersendiri dikarenakan, yaitu soal waktu atau masa berlaku Undang-Undang tentang APBN. Pasalnya, kebijakan APBN memiliki masa berlaku kurang dari setengah tahun (sekitar lima bulan). Sementara, proses beracara di Mahkamah Konstitusi memakan waktu bisa lebih dari satu tahun. Untuk itu, diperlukan terobosan dalam rangka menanganianya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar