Pahlawan, adalah sebuah kata yang dulu pertamakali saya ketahui ketika saya masih menginjak pendidikan Taman Kanak-Kanak, dimana setiap hari musti mengeja huruf demi huruf yang terpajang dibagian bawah sebuah sosok gambar(photo/poster) manusia yang tertempel didinding kelas. Ada gambar Pangeran Diponegara sedang menunggang kuda dan mengacungkan keris, ada gambar Pattimura yang sedang memegang sebilah pedang. Disisi dinding lain ada juga gambar Jendral Ahmad Yani, Mayjend Soetoyo, dan MT Haryono yang dicantumkan dengan gelar ‘Pahlawan anumerta’.
Saat itu kalau saya harus menjelaskan maka tak akan pernah tahu persis definisi kata pahlawan sebagaimana yang saya baca, apalagi kalau harus mengartikan ada embel-embel dibelakangnya, baik embel-embel ‘anumerta’, embel-embel ‘nasional’, pun embel-embel ‘kemerdekaan’, serta yang lainnya.
Baru ketika menginjak Sekolah Dasar sedikit demi sedikit Ibu Guru sering mengulas tentang sosok-sosok gambar poster tersebut, disanalah sedikit demi sedikit pula saya mulai mengerti arti kata pahlawan tersebut.
Pahlawan menurut yang dijelaskan oleh Bu Guru SD, berasal dari dua kata, yaitu ‘pahala’ dan ‘wan‘. Pahala didefinisikannya sebagai ‘ganjaran’ dari apa yang telah dilakukan seseorang, sementara ‘wan’ diartikan sebagai sosok (subyek) manusianya, bahwa ada kata imbuhan ‘wan’ pun ‘wati’. Sehingga masih menurut Ibu Guru SD saya itu, kata pahlawan diartikannya dengan
“Seseorang (manusia) yang berhak mendapatkan ganjaran pun pahala yang diperoleh berdasarkan tindakan baik dan bermanfaatnya terhadap sosok manusia-manusia disekitarnya.”
Masih dengan Guru yang sama, namun pada pelajaran yang berbeda. Kalau tadi kata pahlawan diatas dijelaskan dalam pelajaran Sejarah Indonesia, maka kali ini setelah belajar tentang ‘Apresiasi bahasa dan sastra Indonesia’, saya akhirnya jadi bertanya lagi tentang kata pahlawan sebagaimana yang sudah diterangkan oleh Bu Guru itu.
“Ketika ada kata wartawan, maka akan ada juga kata wartawati, itu digunakan untuk membedakan jenis kelamin pelakunya. Namun kenapa tidak pernah saya dengar kata pahlawati untuk mensejajarkan dengan kata pahlawan Bu Guru..?” demikian pertanyaan saya.
Bu Guru pun menjawab, “Memang kata pahlawan tak selalu disejajarkan dengan kata pahlawati, berbeda sekali dengan kata wartawan dengan wartawati, karyawan pun karyawati. Alasannya, karena kata pahlawan ini adalah sebuah kata benda (noun) yang memiliki kata sifat (adjektive) sebagai “pemberani”, sehingga sangat layak kalau ‘jantan’ selalu disematkan lantaran tepat dengan jenis kelamin ke-”lelaki-lelakian”-nya. Maka itulah dikenal kata pahlaWAN bukan pahlaWATI”.
Dulu, dulu sekali sewaktu saya masih Sekolah Dasar tepatnya ketika mendengarkan penjelasan Bu Guru perihal kata “pahlawan” tersebut, saya hanya bisa mengangguk-angguk (sok) mengerti. Namun ternyata setelah menginjak SMP pun sampai bangkotan saat ini, saya hanya bisa nyengir dan senyum tertawa. Entah kenapa kok saya sedikit merasa geli dibuatnya.
Tapi baiklah tak mengapa,saya tetap menganggapnya itu adalah bagian terbaik dari pengabdian seorang Guru SD dikampung-udik yang profesinya selain sebagai Guru pun harus bekerja sebagai tukang tenun tradisional karena gaji bulanannya tak pernah cukup untuk menghidupi dua anak gadisnya.
Yang jelas setelah menginjak SLTA saya sedikit mendapatkan pencerahan masih dari Bapak Guru pengajar Bahasa juga. Beliau menjelaskan bahwa kata pahlawan termasuk dalam jenis kata benda (nouns) yang awalmulanya secara etimologi berasal dari bahasa Sanskerta berupa “phala”, yaitu wujud ‘buah.’
Sementara menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia ), kata pahlawan adalah penunjukan sosok manusia dominan lantaran keberanian serta pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Pahlawan adalah manusia berpahala yang tindakannya selalu didasari kemanfaatan bagi kepentingan orang banyak. Perbuatan-perbuatan yang dilakoni oleh seorang pahlawan memiliki pengaruh terhadap tingkah laku orang lain dilingkungan sekitar, karena dinilai bersifat mulia serta bermanfaat bagi kepentingan masyarakat bangsa atau umat manusia di sekitarnya.
Sosok yang dipahlawankan biasanya selain karena berjasa adalah juga lantaran difungsikan sebagai tolok ukur pun suri-tauladan bagi manusia lainnya. Semua itu bukan tanpa sebab, dasar sosok pahlawan adalah pejuang tiada sifat menyerah dalam mencapai cita-cita mulia, ikhlas dalam berkorban demi tercapainya satu tujuan denga dilandasi sikap tanpa pamrih pribadi.
Nah, masih dalam menelaah peringatan hari pahlawan 10 November 2011 kali ini, tatkala kita harus mengulas kata pahlawan yang dilandasi sikap tanpa pamrih pribadi, adalah syah adanya kalau sekali lagi kitapun juga musti mencermati “sikap tanpa pamrih” sebagaimana terlansir diatas sebagai landasan dalam berpijak.
Pertanyaannya, dalam kurun waktu belakangan ini, masihkah bisa kita lihat sikap kepahlawanan tanpa pamrih itu ditauladani oleh generasi kita..? Mari kita cermati sambil juga mengaca pada diri-sendiri.
Kategori pahlawan dari dahulu sampai sekarang sepertinya masih belum berubah. Ada pahlawan nasional, pahlawan devisa, pahlawan kemanusiaan, pahlawan revolusi, pahlawan perintis kemerdekaan, pahlawan proklamasi dan masih banyak lagi, yang jelas semua kategori itu bisa kita ukur berdasarkan pada prestasi yang didedikasikan.
Hanya saja masihkah benar-benar relevan sematan kategori pahlawan itu terrealisasikan..? Ini adalah pertanyaan yang menurut saya sudah teramat diragukan tingkat ketepatan dari banyak jawabannya.
Mari kita lihat sebagai contohnya adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin akan menjadi tepat adanya bila seorang guru pengajar yang sekaligus pendidik ini dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa berada di (suku) pedalaman sana, ada di Papua misalnya, atau di pedalaman Sulawesi, Flores. Yang masih bisa saya lihat bahwa seorang guru dipedalaman itulah yang benar-benar masih menjadi sosok pendidik generasi penerus, selain juga sebagai tenaga pengajar tentunya. Guru dipedalaman masih teramat layak untuk dikatakan sebagai “digugu lan ditiru” segala ucapan pun perbuatannya. Tetapi akan menjadi berbeda aktualisasinya adalah ketika kita harus melihat kenyataan banyak guru yang ada di kota-kota besar. Sebut saja Ibukota Jakarta. Saya menyebutnya SUDAH SANGAT TIDAK LAYAK kalau guru-guru di Jakarta ini masih dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bagaimana masih bisa dikatakan sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” jika yang kita lihat adalah banyaknya guru ini bisa menerima upah tiga kali dalam sebulan…? (sepertinya tak harus saya sebutkan khan jenis upah tiga kali sebulan itu..?) Lebih tidak layak lagi gelar ‘tanpa tanda jasa’ itu disematkan ketika kita bisa melihat bahwa seorang guru dalam mengajarpun terkadang dihitung berdasarkan durasi waktu yang bisa dirupiahkan.
Memang bukan satu kekeliruan yang mutlak karena memang menyangkut perikehidupan yang layak, namun akankah rasa “mendidik” masih tersedia pada guru dengan orientasi rupiah ini..? Silahkan teman-teman tercintaku disini mencari jawaban obyektifnya.
Lain guru, ada lagi sematan pahlawan devisa, tak lain adalah saudara-saudara kita yang bekerja di manca negara sebagai TKI serta TKW. Adalah satu kenaifan yang acapkali digembar-gemborkan oleh para punggawa negeri ini tatkala menyanjung-nyanjung jasa para pahlawan devisa yang katanya mendatangkan banyak nilai plus untuk kesejahteraan negeri. Akan tetapi, pernahkah para punggawa tersebut menyediakan tempat layak bagi (kesejahteraan) mereka saudara-saudara kita yang bekerja di manca negara itu..? Kapankah mereka para saudara kita itu merasa menjadi bagian dari anak negeri bernama Indonesia ini lantaran benar-benar memperoleh perlindungan hak dari para Bapak negerinya..?
Mengambil nilai positif dalam memaknai peringatan hari pahlawan;
Bahwa semoga hal itu mampu mendewasakan kita untuk tetap berkaca pada diri, sudah sejauh mana kita bisa memberlakukan kemanfaatan bagi masyarakat sekitar tanpa ada pamrih sama sekali.
Sebagai pelaku media, minimal adalah media weblog, sudah menjadi keharusan kitapun musti bisa kritis sebagai pelaku kontrol sosial, utamanya melihat tingkah-polah ketidakadilan yang dilakonkan oleh para punggawa negeri yang sok pahlawan namun nyatanya hanya mensejahterakan keluarga pun kroni-kroninya itu. Sebaliknya, jangan juga langsung mengumbar emosi tatkala kita juga harus mendapatkan kritikan, apalagi yang sifatnya membangun.
Sebagaimana digambarkan dalam cerita pewayangan, bahwa yang dikenal sebagai tokoh ksatria adalah mereka-mereka yanga ada di Pandawa. Mereka itulah tokoh-tokoh yang dipahlawankan karena berani membela kebenaran serta jauh dari sifat menindas pun menghindari sikap batil lainnya.
Senada dengan kemuliaan pun keberlimpahan para ksatria tersebut, yang musti dijadikan sebagai bahan pengingat adalah jangan pernah jebakan itu menghinggapi diri ini, apalagi menjadi terbuai oleh kenikmatan yang ada, karena tiada yang bakal terlihat mulia ketika kita musti memerankan sebuah tampang arjuna namun tetap mengenakan taring drakula. Dan jika hal ini tanpa sadar telah menjadi bagian dari kebiasaan hidup yang hanya mementingkan hal pribadi pun kelompok, saya rasa sangat tepat jika tanda ‘pahlawan kesiangan’ musti disandangnya.
Pilihannya tetap bergantung pada diri kita, akankah ikhlas untuk menjadi pahlawan yang tanpa pamrih (bahkan tak terlalu berorientasi sebagai pahlawan)..?, ataukah mau menjadi arjuna bertaring drakula dan bersedia menjadi pahlawan kesiangan..? Silahkan tentukan peringatan Anda untuk tetap merayakan Hari Pahlawan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar