Judul ini sengaja saya angkat untuk mengkritis dinamika politik yang sedang dipertontonkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dalam dalam beberapa bulan terakhir. Mulai dari surat rekomendasi bernomor 170/DPRD/V/2011 tertanggal 3 Mei 2011 yang dikeluarkan sepihak oleh Ketua DPRD Mabar, Mateus Hamsi hingga larangan wartawan ikut serta dalam pemantauan pengerjaan sejumlah proyek fisik dan nonfisik tahun anggaran 2010 adalah deretan prilaku demokrasi amburadul yang sedang dipertontonkan lembaga Dewan ini.
Dalam Tulisan ini, saya mengangkat Khusus sikap DPRD Mabar yang menolak keterlibatan wartawan dalam pemantauan pengerjaan sejumlah proyek, sebagaimana terungkap dalam dalam sidang paripurna DPRD, Selasa (9/5), yang dipimpin Wakil Ketua Bernadus Jerahun.
Dalam Sidang paripurna yang dihadiri Bupati Kabupaten Mangarai Barat, Agustinus Chrit Dula, anggota Komisi A, Bernardus Barat Daya mengusulkan sejumlah wartawan cetak maupun elektronik dilibatkan dalam kunjungan kerja bersama pemerintah untuk memantau, melihat dan mengevaluasi sejumlah proyek fisik dan nonfisik yang dikerjakan dalam tahun anggaran 2010.
Barat Dalam paripurna tersebut mengungkapkan wartawan sebagai unsure stakeholder perlu dilibatkan dalam tim kunjungan ini agar apa yang dilihat, disaksikan dan ditemukan dilapangan dapat diangkat secara terbuka dan transparan kepada masyarakat Manggarai Barat. Namun saying hamper semua anggota DPRD yang hadir dalam paripurna tersebut menolak mentah mentah keterlibatan pekerja Pers dalam kunjungan pemantuan pengerjaan proyek yang akan dilakukan lembaga tersebut bersama pemerintah.
Sikap DPRD Mabar ini tentu saja membuat saya miris, dan menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah DPRD Mabar paham dengan hakekat Demokrasi? Apakah DPRD Mabar mewakili Masyarakat Manggarai Barat? Apakah DPRD Mabar mengangap kuli tinta sebagai musuh yang kemudian ditolak partisipasinya dalam pemantuan sejumlah pengerjaan proyek? Dan sederatan pertanyaan lain.
Jika jawabannya belum pahan dengan Demokrasi, maka melalui tulisan ini saya ingin meluruskan kesesatan pola pikir DPRD mabar. Pertama Bahwa negara demokrasi adalah negara yang mengikutsertakan partisipasi rakyat dalam pemerintahan serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Salah satu hak dasar rakyat yang harus dijamin adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan.
Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan.Dalam Demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu Negara.
Kedua, Pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. Disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan politik. Pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar.
Proses demokratisasi di wilayah Mangarai Barat tidak hanya mengandalkan parlemen, tapi juga ada media massa, yang mana merupakan sarana komunikasi baik pemerintah dengan rakyat, maupun rakyat dengan rakyat. Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, dimana adanya transformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara yang menganut paham demokrasi, sehingga ada persebaran informasi yang merata.
Jadi sangat keliru DPRD Mabar menolak Pers dalam pemantauan sejumlah pengerjaan proyek. Justru sebaliknya pers dituntut harus melakukan apa yang disebut jurnalisme pembangunan (development journalism). Pers harus berfungsi mendorong gerak pembangunan. Pers, dalam hal ini koran, majalah, tabloid, radio, dan televisi yang terbit dan beredar di Manggarai Barat, harus mengangkat isu-isu yang terkait dengan pembangunan dan segala permasalahannya dalam laporan, ulasan dan pemberitaannya.
Pers harus memberitakan proyek-proyek pembangunan jalan, jembatan, insfratruktur, nasib petani, buruh, kesehatan masyarakat, kondisi lingkungan di pedalaman dan pedesaan. Dalam konsep jurnalisme pers juga harus berfungsi mengkritisi “musuh-musuh pembangunan”, seperti kolusi, korupsi, dan nepotisme serta penyimpangan dan penyelewengan lainnya.
Yang terpenting lagi pers harus bisa memberikan harapan kepada masyarakat akan masa depannya. Dengan menumbuhkan masa depan yang penuh dengan harapan, ia dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Penolakan DPRD Mabar atas keikutsertaan Pers dalam pemantauan sejumlah proyek fisik bagi saya menimbulkan banyak kecurigaan yang sejak lama tercium Media, sebut saja Dugaan keterlibatan DPRD Mabar dalam pengerjaan sejumlah proyek fisik, maupun calo sejumlah proyek fisik. Sikap DPRD Mabar ini sangat melukai hakekat demokrasi. Saya sangat menyangkan DPRD Mabar menjadi tempat para gerombolan orang yang “memainkan” demokrasi amburadul, tanpa makna dan mandul manfaat untuk rakyat banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar