Headline

1.341 Pejabat Publik Daerah Terlibat Korupsi * Bruder "Preman" Pontianak * Petani Kopi Bajawa Kesulitan Modal * Coffee Manggarai: Black Gold * Tradisi “Suap” dan "memburu" proyek * Kota Labuan Bajo Terus Berkembang *

Selasa, 28 Mei 2013

Bruder "Preman" Pontianak

Jabatan sebagai kepala bagian logistik di sebuah kantor cabang perusahaan farmasi di Pontianak, Kalimantan Barat, cukup memberikan jaminan hidup bagi Stephanus Paiman. Namun, ketidakadilan yang menimpa dua rakyat jelata di Pontianak menyebabkan Steph, panggilannya, memutuskan berhenti bekerja.
Peristiwa pertama adalah kematian seorang tukang bakso akibat ditabrak anak pejabat menggunakan sepeda motor. Namun, anak pejabat ini bebas dari proses hukum walaupun dia bersalah.
Peristiwa kedua juga menyangkut kematian seorang warga. Kali ini warga dibacok anak pejabat yang mabuk setelah keluar dari pesta di sebuah tempat hiburan malam. Lagi-lagi si anak pejabat itu bebas dari jerat hukum, dan kasus kematian warga pinggiran itu menguap.

Kedua peristiwa itu membulatkan tekad Steph untuk berhenti. Apalagi dia juga melihat kantornya terlibat sejumlah proyek yang nilainya digelembungkan tanpa sepengetahuan kantor pusat. Tak hanya berhenti bekerja, dia juga memutuskan meninggalkan dunia awam dan bergabung menjadi biarawan Katolik sebagai bruder di Ordo Kapusin (OFM Cap) pada 1990.
”Nurani saya memberontak. Saya merasa tak bisa melakukan sesuatu jika tetap bekerja dan memenuhi kebutuhan diri sendiri. Itulah yang mendorong saya berhenti bekerja dan memutuskan menjadi biarawan,” katanya.
Setelah mengikuti tahun orientasi panggilan tahun 1990, Steph ditugaskan menjadi pembina asrama Nyarumkop, Kota Singkawang. Ini lembaga yang menaungi asrama SMP Timonong, asrama Bhinekka, asrama Seminari, dan asrama putri. Ia mengucapkan kaul kekal sebagai pembina asrama tahun 1997.
Sejak 1998, ia bertugas di Pontianak sebagai pendamping anak jalanan, pemulung, pedagang pasar, dan kelompok masyarakat terpinggirkan.
”Saya bergaul dengan mereka, menyelami kesulitan, dan mencoba memahami persoalan hidup mereka. Dalam candaan, mereka menyebut saya Bruder Preman. Bagi saya, itu justru menunjukkan mereka menerima saya,” kata Steph.
Pada 2003, ia bergabung dengan Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) di Jakarta. Setahun berikutnya ia memimpin tim relawan JRK dalam misi kemanusiaan pada bencana tsunami di Aceh. Steph dan tim bertahan empat bulan di Aceh.
Setahun kemudian, ia kembali ke Pontianak dan menggagas pendirian komunitas relawan seperti JRK. Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) terbentuk Agustus 2005 dan disahkan sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) kemanusiaan Januari 2006.
Steph memulai dengan mengumpulkan mereka yang siap menjadi relawan. Anggota forum ini membagi bidang pekerjaan pada pendidikan, hukum, kesehatan, perempuan, anak, dan remaja.
Sekitar tiga tahun berkiprah, FRKP ditugaskan menyalurkan bantuan dari ordo di Roma bagi korban gempa di Padang, Sumatera Barat, tahun 2009. Rekonstruksi di Padang belum selesai saat Mentawai, Sumatera Barat, dihantam tsunami. FRKP pun ke Mentawai menyalurkan bantuan masyarakat Kalbar bagi para korban. Berbekal bantuan dana itu, FRKP membuat sanitasi dan pemenuhan kebutuhan air bersih di sini.
Bayi dalam tas
Pergaulan yang cair dengan berbagai kelompok masyarakat di Pontianak dan Kalbar membuat Steph dikenal orang. Ini memungkinkan FRKP mendapat informasi lebih cepat dan lebih banyak tentang persoalan yang dihadapi kaum marjinal. Ia sering mendatangi para korban ketidakadilan. Namun, seringpula para korban yang datang ke FRKP di wilayah Purnama, Kota Pontianak.
Suatu hari, seorang pria datang. Wajahnya lelah. ”Saya membawa anak saya yang meninggal saat lahir. Saya tak punya uang, mau minta Bruder membantu saya,” ujar Steph menirukan ucapan sang tamu.
Namun, Steph tak melihat bayi meninggal seperti yang diceritakan bapak itu. Dia bertanya, di mana bayi meninggal yang dimaksud. ”Ada dalam tas ini, saya bawa naik angkot. Kalau saya punya uang, saya sudah menyewa ambulans, tak perlu minta tolong Bruder,” kembali ia menirukan ucapan tamunya.
Steph kaget. Tas lusuh yang dibawa si bapak itu tergeletak di kursi. ”Saya merasa inilah kemiskinan yang sesungguhnya. Hati saya perih sekali. Kami mengurus pemakaman bayi itu.”
Itu adalah satu dari sekian kisah dramatis yang pernah dia alami. Pada hari lain, datang masyarakat pedalaman yang mengaku lahannya diserobot perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sudah beberapa bulan mereka menuntut ganti rugi, tetapi perusahaan itu tak peduli.
Mengundang simpati
Kiprah Steph dan FRKP mengundang simpati berbagai kalangan. Mereka pun membantu operasional FRKP, dari urusan dapur, listrik, dan internet, hingga bahan bakar kendaraan.
Suatu hari seseorang menyumbang mobil. Setelah berdiskusi dengan relawan FRKP, diputuskan kendaraan itu akan dimodifikasi menjadi ambulans. Untuk itu, perlu dana Rp 200 juta. Steph menghubungi rekan-rekannya dan belasan orang menyumbang bahan, seperti, ban, sirine, radio panggil, tabung oksigen, dan tempat tidur pasien.
Ambulans jadi dan pelayanan orang sakit dan antar jenazah bisa berlangsung. Pelayanan diberikan gratis.
”Saya merasakan kepuasan yang begitu besar ketika berhasil menolong orang keluar dari persoalan.”
Stephanus Paiman • Lahir: Pontianak, Kalbar, 28 September 1963 • Pendidikan: - SD Bruder, Pontianak- SMP Bruder, Pontianak - SMA Negeri I Kota Pontianak - Sekolah Tinggi Filsafat Santo Thomas, Pematang Siantar, Sumatera Utara
sumber Kompascetak,  29 Mei 2013

4 komentar:

  1. MENGAPA JUDULNYA BRUDER "PREMAN" PONTIANAK. APA YANG MEMBUATNYA JADI PREMAN? SAYA SANGAT TIDAK RESPECT DGN JUDUL INI.

    BalasHapus
  2. Tampang Boleh Preman,namun hati dan karya nyata Seperti malaekat..daripada yang bertampang malaekat dan Bergaya Orang Suci namun Ndak Punya karya Nyata,malah mirip Hantu tabiatnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang tampang Br. Stef preman? Apanya yang preman?

      Hapus