Kementerian
dalam Negeri meliris sedikitnya 1.050 anggota DPRD Kabupaten/Kota dan 291
kepala daerah terlibat korupsi dalam kurun waktu 2004-2013. Dari 3.000 anggota dewan yang berkasus, terdapat 1.050 orang
diantaranya (40,07 persen) teridentifikasi kasusnya adalah korupsi disusul
perzinahan, pemerasan dll.
Sementara untuk kepala daerah, sejak diberlakukannya pemilukada langsung
hingga awal 2013, kepala daerah yang terbelit kasus hukum mencapai 291 orang.
Dari jumlah itu, 70 persen di antaranya akibat terlibat praktik tindak pidana
korupsi.
Depertemen dalam negeri
mencatat sedikitnya 21 gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati,
41 wali kota dan wakil wali kota 20 orang yang terjerat kasus korupsi itu. Tidak hanya itu, Kasus Korupsi juga menjerat
aparatur pemerintah-PNS. Jumlahnya cukup besar mencapai 1.221 orang. 185 orang menjadi
tersangka, 112 terdakwa, 877 terpidana dan 44 orang berstatus saksi.
Selain contoh besarnya persentase kepala
daerah yang terlibat korupsi—tidak seluruhnya korup, sebagian karena kesalahan
manajemen—masih banyak contoh lain. Jabatan publik, dalam artian kedudukan dan
eksistensinya dari rakyat dan untuk rakyat, ternodai. Efektivitas dan efisiensi
praksis pemerintahannya mandul.
Ketika perilaku wakil rakyat—tidak seluruhnya
memang—tidak pantas jadi teladan, eksistensi mereka tidak lebih dari ”togok”
dalam kisah pewayan
gan. Anggap saja banyolan. Ketika ketidakpastian selalu
dijadikan wacana keputusan-keputusan politik, tanpa sengaja perilaku itu
mempersubur ketidakpercayaan publik.
Perpolitikan memang tak hitam putih, tidak
dua tambah dua sama dengan empat. Akan tetapi, ketika semua diskenariokan
sebagai pencitraan sekaligus menafikan realitasnya—padahal kurang mudarat,
negara dan bangsa ini menuju kebangkrutan.
Dalam sisa waktu setahun pemerintahan
(nasional) SBY, ada baiknya dilihat kembali janji-janji yang pernah
disampaikan. Sudah saatnya mulai dibangun kepercayaan, demi warisan nama baik,
bukan hanya pujian, awards, dan penghargaan, melainkan sejauh mungkin
diusahakan restorasi dan perbaikan bagi kepentingan publik/masyarakat.
Dengan demikian, terkikis pelan anomali
politik dan ketidakpercayaan, sekaligus merajut terkoyaknya luka
ketidakpercayaan rakyat, yakni menegakkan demokratisasi, tatanan hukum, dan
keadilan bagi kepentingan rakyat banyak. Kalau tidak, kondisi pra-Reformasi
menjadi candu, sekaligus terpupuk merosotnya kepercayaan publik. Habis sudah
kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar