NABI ABRAHAM suatu ketika di uji Tuhan, ia taat maka Ishak anak kesayangannya ia antar sebagai persembahan, kurban bakaran. Dalam kitab Kejadian dituliskan, setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham, “lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.” FirmanNya: “Ambilah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” (Bdk Kej 22:2-3)
Kisah ini berakhir dengan dibatalkan seluruh upacara pembakaran itu, Ishak digantikan domba sebagai persembahan. Tetapi berserulah Malaikat Tuhan dari langit kepadanya: “Abraham, Abraham.” Sahutnya: “Ya Tuhan.” Lalu Ia berfirman: “Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, sebab engkau takut akan Allah, dan engkau tak segan-segannya menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” (Bdk Kej 22:11)
TAK SETUJU CARA SONDANG
Ketika identitas pelaku bakar diri terkuak, bulu roma saya saat itu, tiba-tiba bergidik. Tidak saja karena ulah nekat pelaku, motivasi dibalik aksinya, namun karena sondang adalah mahasiswa, orang muda Indonesia. Cara sondang mengekspresikan kekecewaannya terhadap rezim, bagi saya sangat tidak wajib untuk dijadikan acuan. Bunuh diri bukan cara! Ini keyakinan saya. Bagi saya masih banyak pilihan ekspresi yang jauh lebih kreatif, yang mampu membangkitkan gairah baru perlawanan. Sekali lagi bunuh diri bukan cara! Tapi apa yang saya katakan tak mungkin lagi membangunkan Sondang. Dia, sondang telah memilih jalannya. Sondang telah mati, dia hangus terbakar, namun saya percaya spirit perlawanannya sedang menyala, hidup dihati semua kaum yang mencintai keadilan. Ini salah satu hikmah, setelah sondang membakar kita !
Pada kesempatan lain, sahabat Lilik (Lilik Krismantoro, red) bercerita, suatu ketika di seorang sahabatnya, anton di Kuningan, meninggal dengan kegelisahan yang sama, dia gantung diri karena kegelisahannya akan tanah air dan kemanusiaan. Hanya saja dia tidak menjadikan bunuh dirinya sebagai aksi publik. Saya menghormati kematian-kematian itu, saya menghormati panggilan yang tersembunyi di baliknya, tetapi saya menyayangkan pilihan tindakannya.
Maka menjadi penting untuk menarik momentum ini, dari momentum heroisme bunuh diri, menjadi momentum produktivitas orang-orang muda, agar mahasisw merenungkan siapa dirinya, panggilannya, dan cara lain yang tersedia untuk menjadi Indonesia” demikian Lilik dan saya setuju dengannya.
Jika diamati, setelah aksi bakar diri Sondang, cukup berimbang komentar seputar peristiwa ini, di beberapa akun facebook tidak sedikit orang muda yang mencibir, menertawakan bahkan ada yang tega mengatakan ini kekonyolan. Namun tidak sedikit pula yang mendukung cara sondang, kemudian mengajak untuk bertempur, atau bisa dibilang, memanfaatkan kisah sondang untuk membangun sebuah perlawanan baru.
Selain itu tanggapan dengan nada 'provokatif' justru muncul dari beberapa tokoh politik. Bagi saya menanggapi aksi sondang sebaga sebuah kekonyolan, apalagi diucapkan orang muda sungguh menyakitkan. Pada aras lain usaha penunggangan kematian sondang untuk kepentingan politik kekuasaan adalah kekurang-ajaran. Seperti Lilik, saya menghormati pilihan sondang/anton untuk berkurban meski saya tidak menyetujui cara mereka berkurban.
SETELAH “SONDANG” MEMBAKAR KITA
Kisah Nabi Abraham diatas bagi saya bisa dijadikan acuan kita, khususnya mereka yang percaya pada Allah (kaum beriman). Tuhan saja melarang Abraham mengurbankan anaknya, demi sebuah kesetiaan. Lantas apa pilihan yang bisa dilakukan orang muda/mahasiswa untuk mengekspresikan idealismenya.
Kembali saya mengutip Lilik, kita bisa terlibat di kelompok aksi untuk advokasi dan pendampingan mereka yang tertindas dan tersingkir. Bisa mengadakan kampanye penyadaran dengan berbagai media pada masyarakat juga kepada orang-orang muda lainnya yang sekarang seperti tertidur akan tantangan kebangsaan yang kian memprihatinkan. Mampu membangun gerakan-gerakan alternatif yang menunjukkan, kalau kita semua bisa hidup dengan cara yang lebih bermoral dan menjunjung semangat keadilan dan kemanusiaan.
Kita bisa membuat musik, puisi, novel, film indie, pamflet, poster, mural, blog, website untuk mengekpresikan Indonesia versi kita. Menganalisa situasi bangsa ini, dari semua segi, semua sisi, agar kita semua lebih memahami bagaimana bangsa ini telah diperas dan dibodohi, bahkan bisa memilih untuk mengajar di daerah terpencil, atau menulis di koran-koran, buku, surat pembaca, blog, atau dimana saja, termasuk surat cinta pada kekasih tercinta, bahwa hubungan cinta bakal tak bisa hidup damai ketika Indonesia masih seperti ini, cinta harus juga berarti perjuangan untuk Indonesia.
Kita bisa membangun relasi ke luar negeri dan membangun solidaritas bagi pemerdekaan negeri ini dan juga bisa memilih satu bidang khusus yang jarang digeluti dan memaksimalkan diri kita di situ, membuat penemuan dan menulis prestasi, menunjukkan bahwa Indonesia kita mampu membuat prestasi yang tak kalah dari bangsa lain di dunia. Kita juga bisa memilih satu bidang seni dan budaya, melestarikan bahasa daerah dan tradisi yang terancam hilang, kalau kita tidak masuk ke dalamnya dan ambil bagian. Kita bisa berjanji kelak kalau kita jadi penguasa, tak bakal korupsi, menindas mereka yang miskin, merusak lingkungan, dan menjual Ibu pertiwi. Kita bisa menjadi seorang sahabat yang baik bagi setiap orang yang membutuhkannya. Kita bisa menjadi sumber cinta, inspirasi, perhatian, dan perdamaian bagi dunia dan sahabat terdekat kita ! Yakin kita bisa !! (fw)
Referensi: Catatan Lilik Krismantoro, Facebook (terima kasih bung untuk pesan-pesan yang menginspirasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar