Tragedi Sape Berdarah
Senin (19/12/2011) hingga Sabtu (24/12/2011) ribuan warga Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Bara menduduki Pelabuhan Sape. Tindakan tersebut merupakan wujud protes atas keberadaan perusahaan tambang emas di Lambu. Keberadaannya dinilai merugikan warga dengan alasan merusak sumber air satu-satunya di pemukiman warga setempat. Pendudukan Pelabuhan Sape dilakukan warga selama hampir seminggu melumpuhkan aktivitas.
Arif Rahman, korban meninggal dalam tragedi sape berdarah, NTB |
Surat kabar local Lombok Pos memberitakan Polisi dari satuan Brimob masuk ke areal pelabuhan untuk negosiasi dengan pendemo sekitar pukul 07.00 WITA pada (24/12/2011). Negosiasi cukup alot. Pendemo meminta polisi memperlihatkan surat jaminan dari Kapolda NTB yang telah menjanjikan mengawal kasus pembatalan izin tambang emas.
Warga menilai tambang emas di Lambu dan Sape dapat merusak lahan pertanian dan tambak milik mereka. Koordinator pendemo pun menyuruh massa mundur. Namun polisi kemudian menarik turun koordinator dan tembakan dilepaskan ke arah warga. Warga pun lari menyelamatkan diri.
Beberapa warga dihajar dan dipukul oleh polisi. Pembubaran paksa massa di Pelabuhan Sape selesai sekitar pukul 09.00 WITA. Warga yang kabur kembali ke Desa Bugis, sekitar 300 meter dari Pelabuhan Sape terus dikejar aparat. Di Desa Bugis, polisi melakukan tembakan.
Polisi menemukan dua warga tewas akibat tembakan. Aris Rahman (19) dan pelajar bernama Syaiful alias Mahfud (17). Massa merespons kejadian ini dengan membakar Polsek Lambu, Kantor Kecamatan Lambu, rumah kepala desa, warga, dan anggota DPRD Bima yang dianggap pro tambang
Tindakan ribuan polisi yang sangat represif tidak mencerminkan institusi POLRI. Desingan tembakan yang dilakukan polisi yang menewaskan warga 2 orang. Puluhan kritis dan luka-luka menjadi bukti buramnya lembaga parat hukum.
Slogan polisi “Mengayomi, Melindungi dan Melayani” sekadar slogan, rasa aman nyaman hanya oase belaka. Tragedi kasus Mesuji berdarah, kasus pembubaran kongres rakyat di Manokwari Papua Barat dan blokade pelabuhan Sape dibubarkan di Bima NTB. Semua berujung pada keberpihakan aparat kepada perusahaan.
Suatu bentuk tindakan yang sangat disayangkan, ini wujud nyata tirani. Telah mengukuhkan tindakan amoral dari aparat yang harusnya memihak rakyat kecil termarginalkan. Kekerasan yang terjadi merupakan realitas buruk dari sikap aparat karena tidak mampu melindungi dan mengayomi warga.
Ironisnya petinggi Polri malah membenarkan tindakan brutal tersebut, dalam sebuah stasiun televisi nasional. Polri menegaskan tindakan yang diambil aparat sudah sesuai prosedur. Apakah penembakan yang menewaskan warga adalah sebuah prosedur yang baik untuk kasus bima?
Sosiolog, Prof. Thamrin, mengatakan tindakan aparat kepolisian yang menembaki warga hingga tewas, menyeret dan memukul warga adalah tindakan brutal, represif dan lebih buruk dari sikap Polisi pamong praja. Tindakan Brutal ini adalah bukti pemerintah telah berselingkuh dengan perusahan.
Perselingkuhan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dengan pemilik modal kian mengila, kasus Freeport di Papuan, Mesuji di Sumatra, Aksi jahit mulut warga Riau depan kantor DPR RI, Tragedi Sape berdarah adalah deretan pemerintah bersekutu dengan pemilik modal dengan mengorbankan kepentingan warga Negara. Hak hak fungsionaris adat dinjak injak oleh kebijakan yang mementingkan pemodal. Prof. Thamrin mengatakan sejak awal UU di Negara ini berpihak pada kapitalis. “mulai dari UUD yang kemudian direvis hingga peraturan daerah kebanyakan dibuat untuk kepentingan pemilik modal” kata Thamrin di sebuah televise Nasional
Lembaga adat ada jauh sebelum Negara ini ada, lembaga adat memiliki tanah ulayat dan memiliki aturan baik yang berhubunngan dengan Tuhan maupun, sesame dan alam. Sejak penyebaran agama masuk berlahan ritual ritual adat yang dinilai “haram” oleh agama berangsur hilang. Setalah agama, kini giliran pemerintah, melalui sejumlah peraturan lembaga adat terus diserang, tanah ulayat adat dicapok, warganya diungsikan. Akibatnya banyak warga kehilangan tempat tinggal hingga korban jiwa.
Praktek pemerintahan seperti ini biasanya tumbuh subur di wilayah pemerintahan yang subur korupsinya, regulasi menjadi komoditas jual beli antara pemerintah dan pemilik modal. Awalnya perselingkuhan hanya terjadi antara pemerintah pusat dan pemilik modal namun kini sejak UU otonomi daerah perselingkuhan tersebut merambah ke daerah. Tragedi sape berdarah, konflik pertambangan di wilayah manggarai Raya,NTT adalah bukti yang tak terelakan kalau perselingkuhan pemerintah daerah dengan pemilik modal itu benar ada.
Negara memainkan peran penjajah, warga ditembak mati, dipukuli, ditendang, diseret seperti binatang, tanahnya dirampas, sumber daya alam dikeruk. Katanya mau menyesejahterakan rakyat, tapi kenapa rakyat terus terusan hidup miskin? Kurang pendidikan, tak dijamin kesehatannya? Bukankah tugas Negara menciptakan kesejahteraan, pendidikan gratis, kesehatan diyamin.
Untuk melawan perselingkuhan yang menghancurkan ini saya kira penting untuk melakukan penguatan lembaga lembaga adat, memperjuangkan hak hak lembaga adat dan terus melakukan perlawanan terhadap kebijakan Negara yang cendrung membunuh hak hak lembaga adat. Masuji, warga papua dan Bima adalah bukti bahwa mereka tidak mau terus dijajah oleh kebijakan pemerintah di Negara ini.
MARI TERUSSS LAWANNNN….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar