"Marilah memohon kepada Tuhan untuk membantu kita agar tidak silau dengan gemerlap yang tidak bermakna pada tahun ini, dan menemukan pesan di balik (kelahiran) bayi di kandang kuda di Bethlehem, sehingga bisa menemukan kebahagiaan dan cahaya yang sejati," Paus Benediktus XVI
Maraknya komersialisasi perayaan Natal menjadi keprihatinan Paus Benediktus XVI. Dalam homili misa malam Natal untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus di Gereja Basilika Santo Petrus, Vatikan, Sabtu (24/12) pukul 22.00 waktu setempat atau sekitar pukul 04.00 WIB, paus mengajak umat Katolik menemukan makna Natal yang sejati.
Proses globalisasi dan osmosis budaya sosial politik ekonomi supramodern menjerumuskan perayaan Natal ke dalam jaringan bisnis nan hedonistik, bahkan terjebak dalam muatan hasrat mencari keuntungan. Bawah sadar hasrat kompetitif mendominasi komunitas, toko, mal, dan hotel dengan hiasan-hiasan pernak-pernik Matal. Ada indikasi, gebyar aksesori dan selebrasi itu terkontaminasi rasa gengsi.
Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam rangka Natal adalah makna kehidupan yang hendak ditawarkan. Sang Bayi yang lahir di Betlehem lebih dari 2.000 tahun silam, lahir dalam situasi nista di kandang hewan dan dibaringkan di palungan, bahkan hanya dibungkus lampin alias gombal amoh (Lukas 2:6). Namun dengan cara itu, pesan membela kehidupan kaum papa jelata miskin tersingkir tertindas hendak dikumandangkan ke segala ujung dunia.
Proses globalisasi dan osmosis budaya sosial politik ekonomi supramodern menjerumuskan perayaan Natal ke dalam jaringan bisnis nan hedonistik, bahkan terjebak dalam muatan hasrat mencari keuntungan. Bawah sadar hasrat kompetitif mendominasi komunitas, toko, mal, dan hotel dengan hiasan-hiasan pernak-pernik Matal. Ada indikasi, gebyar aksesori dan selebrasi itu terkontaminasi rasa gengsi.
Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam rangka Natal adalah makna kehidupan yang hendak ditawarkan. Sang Bayi yang lahir di Betlehem lebih dari 2.000 tahun silam, lahir dalam situasi nista di kandang hewan dan dibaringkan di palungan, bahkan hanya dibungkus lampin alias gombal amoh (Lukas 2:6). Namun dengan cara itu, pesan membela kehidupan kaum papa jelata miskin tersingkir tertindas hendak dikumandangkan ke segala ujung dunia.
Yesus lahir ke bumi untuk membela kehidupan umat manusia dalam segala keadannya, terutama mereka yang tidak beruntung, tertindas dan marginal. Kelahiran-Nya memuat janji pemulihan dan pemuliaan kehidupan manusia agar mengalami kasih setia dari Allah.
Kemiskinan di palungan yang harus ditanggung sejak kelahiran-Nya mengisyaratkan visi misi masa depan kepemimpinan-Nya dalam membela dan merayakan kehidupan umat manusia, utamanya kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan termarginalkan. Kelahiran Yesus dalam situasi kesakrat menjadi jawaban atas pertanyaan: mana mungkin kita yang tidak miskin dan tidak pernah menderita, mampu menghayati kemiskinan dan penderitaan kaum lemah tersingkir yang hidup serbapenuh malapetaka dan derita? Ia sudah membuktikannya dari semula sejak kelahiran-Nya.
Maka bila kelak dalam penampilan publik-Nya setelah beranjak dewasa dan berkarya, Ia berseru, ‘’Datanglah pada-Ku hai kalian yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan bagimu.’’ (Mateus 11:28) sangatlah bisa dipahami. Sabda itu adalah sabda kehidupan, bukan sekadar janji politis palsu demi tebar pesona.
Sebuah Perayaan Kemanusiaan
Natal adalah sebuah perayaan kemanusiaan. Merayakan Natal berarti membela kehidupan. Membela kehidupan terwujud bila kita mampu membangun budaya antikekerasan. Wajah bangsa kita belakangan ini sangat dekat dengan kekerasan.
Orang begitu mudah melecehkan martabat kehidupan dengan mengumbar kekerasan, bahkan secara sadis membunuh sesama. Kekerasan menghiasai media massa, seakan-akan kekerasan sudah menjadi infotainment.
Kita prihatin dan sedih membaca berita barbarisme masih terjadi di negeri ini. Paling aktual sedang disorot publik adalah tragedi Mesuji. Tragedi pembunuhan 30 petani di Kabupaten Mesuji, Lampung, yang diduga dilakukan oleh personel pamswakarsa perkebunan kelapa sawit dan oknum polisi itu sangat mengusik nurani kita.
Lepas dari simpang-siur berita tentang berapa jumlah manusia yang mati (Mabes Polri mengoreksi ‘’hanya’’ 9 orang) dalam tragedi itu, tindakan membunuh sesama, bahkan memenggal kepala adalah tindakan barbar sadistik, tak beradab. Sebelumnya tragedy kemanusiaan terjadi di papua dan kabar terbaru terjadi di kabupaten Bima, NTB.
Akar dari semua itu adalah tiadanya penghargaan terhadap martabat kehidupan yang harus diretas dengan budaya antikekerasan. Budaya antikekerasan mendesak diwujudkan di tengah masyarakat, sekaligus menjadi antisipasi agar orang membela kehidupan.
Meretas budaya kekerasan demi membela dan merayakan kehidupan bukan urusan agama tertentu melainkan menjadi komitmen semua agama. Semoga perayaan Natal, yang juga merupakan perayaan kemanusiaan, kian menginspirasi masyarakat kita bahwa kelahiran Sang Bayi dan bayi-bayi lainnya adalah pangkal masa depan kehidupan yang bahagia, apabila kita mampu menempatkannya dalam ranah perdamaian, harmoni, keadilan, dan kesejahteraan. Selamat Natal 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar