Headline

1.341 Pejabat Publik Daerah Terlibat Korupsi * Bruder "Preman" Pontianak * Petani Kopi Bajawa Kesulitan Modal * Coffee Manggarai: Black Gold * Tradisi “Suap” dan "memburu" proyek * Kota Labuan Bajo Terus Berkembang *

Rabu, 28 Desember 2011

Ekowisata : Solusi Permasalahan Lingkungan dan Budaya



….bagi wisatawan, kawasan wisata danau Sano Nggoang tidak hanya memberikan nilai keidahan alam, kondisi hutan yang masih alami akan tetapi jauh hal yang lebih berkesan adalah nilai keramah-tamahan masyarakat menyambut dan berinteraksi dengan wisatawan. Kesan ini terlihat dalam penelitian tingkat kepuasan terhadap wisatawan bahwa keramah tamahan masyarakat merupakan hal yang sangat disukai…”

Kabupaten Manggarai Barat sebagai destinasi ekowisata unggulan tidak hanya memiliki Taman Nasional Komodo yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO akan tetapi kekayaan potensi wisata alam dan budaya yang sangat beranekaragam mempunyai peluang besar untuk dikembangkan. Keindahan biota laut dengan benjolan-benjolan pulau-pulau kecil menjadi ciri khas Pulau Bunga ini. Tidak hanya itu, kekayaan potensi wisata Manggarai Barat berupa atraksi budaya, keanekaragaman hayati seperti; atraksi tarian caci yang menampilkan nilai kejantanan bagi pemainnya, kawasan hutan Mbeliling dengan kekhasan tiga burung endemik Flores seperti Kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), Serindit Flores (Loriculus Flosculus), dan Gagak Flores (Corvus Florensis) serta kawasan wisata Danau Vulkanik Sano Nggoang yang merupakan Danau Vulkanik terbesar di kawasan wisata Indonesia Timur.

Dari aspek syarat pengembangan destinasi wisata, Manggarai Barat tidak hanya menyimpan potensi wisata, akan tetapi merupakan akses sebagai pintu masuk utama wisatawan ke Pulau Flores sebelum menikmati kegiatan wisata overland flores seperti mengunjungi Kampung Tradisional Waerebo, Bajawa dengan Rumah adat Bena dan danau kelimutu dengan tiga warnanya. Hal ini karena Manggarai Barat mempunyai aksesibilitas yang cukup memadai serta amenities berupa sarana akomodasi, restoran serta fasilitas wisata lainnya.

Konsep Ecotourism telah diperkenalkan di Amerika dan Eropa sejak tahun delapan puluhan, namun Ecotourism yang kemudian dikenal sebagai ekowisata baru diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1995. sejak tahun itu telah tercatat puluhan seminar, lokakarya dan pertemuan-pertemuan yang membahas mengenai konsep, definisi, prinsip maupun implementasi Ekowisata. Namun hingga saat ini masih terus diperdebatkan mengenai definisi, prinsip maupun contoh-contoh keberhasilan implementasi dari ekowisata di Indonesia.

Dilihat dari makna dasar, kata ekoiwsata dapat dijabarkan sebagai berikut, Eko yang dalam bahasa Greek (Yunani) berarti Rumah, dan Tourism yang berarti wisata atau perjalanan. Pengertian selanjutnya oleh beberapa ahli kata Eco dapat diartikan sebagai Ecologi atau Economi sehingga dari dua kata tersebut akan memunculkan makna Wisata ekologis (Ecological Tourism) atau Wisata Ekonomi (Economic Tourism) dan hal ini masih terus diperdebatkan oleh para ahli mengenai makna dari kata dasar tersebut.

Danau Sanonggoang
Untuk lebih jelas mengenai beberapa pendapat para ahli ecotourisme sebagai pengayahan pengertian kita tentang ekowisata, akan dijelaskan sebagai berikut : Ceballos-Lascurain dalam Buku Ekowisata Prinsip dan Kriteria : 2003 mendefinisikan bahwa ekowisata : Perjalanan ke tempat-tempat alami yang relative belum terganggu dan terpolusi, dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan tumbuhan dan satwa liarnya serta budaya yang ada di tempat tersebut. Sedangkan The International Ecotourism Society dalam buku yang sama mendefinisikan :  Ecotourism sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab ke tempat-tempat alami, yang mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Ekowisata tidak hanya sekedar konsep dalam dunia pariwisata, akan tetapi ekowisata merupakan solusi terhadap kerusakan lingkungan, pudarnya nilai budaya dari dampak pariwisata massal (mass tourism). Prinsip dan pengembangan ekowisata lebih menekankan terhadap ; 1) nilai pelestarian lingkungan serta budaya kehidupan masyarakat lokal, 2) nilai pendidikan yang dapat memberikan pengetahuan bagi wisatawan dan masyarakat, 3)nilai pariwisata yang dapat memberikan kesenangan dan hiburan serta peningkatan ekonomi masyarakat lokal dengan terbukanya lapangan pekerjaan.  

Dari sisi pasar, merebaknya isu lingkungan ke dalam berbagai sendi kehidupan manusia dan dinamika global yang terbuka pada pluralisme dan multikulturalisme, membawa implikasi terhadap wawasan berwisata dari wisatawan. Dalam dua dekade terakhir ini tengah berlangsung pergeseran nilai, minat dan perferensi berwisata dikalangan wisatawan global. Laporan yang dikeluarkan World Tourism Organization (WTO) tahun 1990 menunjukkan adanya kecendrungan dan perkembangan baru dalam dunia kepariwisataan yang mulai muncul pada tahun 1990-an.

Kecendrungan ini ditandai oleh berkembangnya gaya hidup dan kesadaran baru akan penghargaan yang lebih terhadap nilai-nilai hubungan antar manusia dengan lingkungan alamnya. Perkembangan baru tersebut secara khusus ditunjukkan melalui bentuk-bentuk keterlibatan wisatawan dalam kegiatan-kegiatan di luar lapangan (out-door), keperdulian akan permasalahan ekologi dan kelestarian alam, kemajuan akan ilmu pengetahuan dan pendidikan, penekanan dan penghargaan akan nilai-nilai estetika, kebutuhan pengembangan diri/pribadi serta keinginan untuk berinteraksi secara mendalam dengan masyarakat.

Kawasan Wisata Danau Sano Nggoang Sebagai Potensi Ekowisata
Danau Vulkanik Terbesar di Kawasan Wisata Indonesia Timur Danau Sano Nggoang merupakan Monumen Alam “Natural Monument”. Danau berwarna hijau jernih, seluas tiga km2 ini merupakan danau terbesar di Flores bahkan merupakan danau vulkanik terbesar di kawasan Indonesia Timur. Pemandangannya sangat indah, menjadi tempat hidup komunitas invertebrata besar (macro-invertebrate) yang khas dengan kedalaman danau mencapai 600 m.

Danau Sano Nggoang berada di kelompok hutan Sesok (RTK 02) yang terletak di sebelah atas kampung Nunang. Kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung dan Hutan Produksi Terbatas ini memiliki arti penting bagi keanekaragaman hayati. Kawasan ini merupakan lokasi ditemukannya Kehicap Flores (Monarcha Sacerdotum) dan sangat kaya akan burung-burung endemik Nusa Tenggara, seperti Gagak Flores (Corvus florensis), Elang Flores (Spizaetus Floris), Celepuk Wallace (Otus silvicola) dan Opior paruh-tebal (Heleia crassirostris). Di Manggarai Barat, Danau Sano Nggoang merupakan bagian atraksi wisata unggulan selain Taman Nasional Komodo sebagai pilihan wisatawan yang tidak hanya menikmati keindahan danau vulkanik akan tetapi nilai edukasi dengan menikmati keanekaragaman hayati, atraksi minat khusus Birdwatching, Trekking serta kehidupan masyarakat lokal (living culture).

Keunikan Budaya Masyarakat Manggarai
Budaya keramahtamahan masyarakat, pelayanan yang hangat menjadi motivasi wisatawan untuk mengunjungi danau Sano Nggoang. Bagi masyarakat sekitar danau, ritual budaya masyarakat Manggarai masih tetap mereka lakukan walaupun tidak bisa dipungkiri perkembangan zaman dan akulturasi budaya luar telah memberikan dampak terkikisnya nilai-nilai budaya dalam kehidupan mereka. Budaya Curu merupakan budaya masyarakat Manggarai yang digunakan untuk menyambut tamu agung/baru di pintu masuk kampung. 

Para tamu akan diarak dengan budaya Ambong. Sesampainya di dalam rumah, para tamu akan disambut dengan budaya ”Kapu” merupakan budaya masyarakat Manggarai yang digunakan untuk menyambut tamu agung/baru dalam rumah dengan menggunakan ayam jantan putih sebagai simbol rasa keikhlasan hati dan rasa kekeluargaan masyarakat Manggrai, Toak (local wine) yang menyimbolkan hidangan untuk diminum para tamu untuk menghilangkan rasa lelah dan dahaga setelah berjalan jauh dan yang terakhir uang yang diberikan oleh tamu sebagai ungkapan doa kepada Tuhan atas arwah nenek moyang yang telah meninggal. 

Budaya ini bagi wisatawan merupakan sesuatu yang baru dan unik, sehingga mereka secara tidak langsung dapat mempelajari budaya dan keseharian masyarakat Manggarai. Di kawasan wisata Danau Sano Nggoang, wisatawan juga dapat melihat atraksi budaya tarian Caci yang merupakan tarian budaya Manggarai yang dimaikan oleh empat orang laki-laki sebagai simbol menunjukkan kejantanan dan nilai seni. Bagi masyarakat Manggarai, tarian Caci pada zaman dahulu digunakan untuk ritual upacara keagamaan, pernikahan dan pembukaan ladang baru. Akan tetapi dengan adanya perkembangan pariwisata, tarian Caci sudah mulai ditampilkan untuk atraksi wisatawan. Akan tetapi, atraksi tarian Caci ini hanya dapat ditemukan ditempat tertentu saja.

Atraksi Minat Khusus (Special of interest)
Hutan disekitar kawasan wisata Danau Sano Nggoang menyimpan berbagai macam jenis keanekaragaman hayati dan tumbuh-tumbuhan. Salah satunya adalah jenis obat-obatan tradisional (nature apotek) yang sering digunakan oleh masyarakat lokal untuk pengobatan mulai dari obat malaria, demam, infeksi sampai dengan obat untuk kesehatan ibu hamil. Wisatawan akan dipandu oleh guide lokal untuk memetik secara langsung dan meramu ramuan-ramuan tradisional yang berada di sekitar danau. Tradisional SPA, luluran di air belerang bagi wisatawan merupakan hal yang sangat menarik. Selain untuk mengobati penyakit kulit dengan kekhasan air beleran wisatawan juga dapat merebus singkong atau telur langsung di kolam-kolam kecil yang terdapat di pinggir danau. Kadar air ada yang 370 CC sampai dengan 1000 CC. Sammbil menikmmati sun set, wisatawan juga dapat berkuda mengelilingi danau Sano Nggoang dengan ditemani oleh pemandu. 

Pengalaman yang luar biasa untuk dipelajari tentang budaya dan kehidupan masyarakat Manggarai. Kegiatan pertemua, outbound training yang ngetren disebut (MICE), kawasan wisata Danau Sano Nggoang merupakan tempat yang sangat representatif untuk digunakan. Kawasan yang tenang, pemandangan alam yang menakjubkan, ruang fasilitas pertemuan yang memadai dan harga yang relatif terjangkau memberikan daya tarik tersendiri untuk mengadakan kegiatan di kawasan wisata Danau Sano Nggoang.

Menikmati Indahnya Malam di Danau Sano Nggoang
Bermalam di kawasan Danau Sano Nggoang memberikan pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Suana tenang dengan pemandangan hutan yang masih alami dan tentunya hamparan Danau Sano Nggoang. Wisatawan akan bermalam di homestay yang sudah disediakan oleh masyarakat. Senyum, keramah tamahan masyarakat serta menu masakan lokal menjadi hidangan bagi wisatawan ketika bermalam di homestay masyarakat. Wisatawan dapat berinteraksi secara langsung bersama masyarakat walaupun kemampuan bahasa Inggris mereka masih terbatas. Akan tetapi rasa antusias masyarakat untuk selalu belajar kunjungan wisatawan bagi mereka merupakan wahana belajar untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris dan pelayanan terhadap wisatawan. Di malam hari, biasanya masyarakat mengajak para tamu mereka untuk pengamatan burung ataupun melihat tikus raksasa (becok) atau sekedar belajar budaya masayarakat Manggarai. Paket menginap di homestay permalam Rp. 250.00,-/per pax sudah termasuk makam 3 kali per hari dan guide lokal dan porter. Bila dibandingkan dengan Labuan Bajo, harga ini cukup murah karena fokus awal dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Danau Sano Nggoang adalah peningkatan keahlian dan motivasi masyarakat.

Aksesibilitas Menuju Kawasan Wisata Danau Sano Nggoang
Untuk saat ini, perkembangan aksesibilitas menuju Labuan Bajo sebagai pintu masuk utama wisatawan ke Pulau Flores sudah sangat baik. Wisatawan sudah dapat mengakses penerbangan setiap hari dari Denpasar-Labuan Bajo. Permasalahan kebutuhan akses informasi berupa internet sebagai media utama dalam pelayanan pariwisata sudah dapat terlayani dengan adanya layanan speedy. Sarana akomodasi sudah tersedia mulai dari hotel berbintang, bungalow sampai dengan melati. Perkembangan fasilitas wisata ini setidaknya memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi wisatawan dan pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal.

Akses menuju kawasan wisata Danau Sano Nggoang dari Labuan Bajo hanya berjarak 58 km. Wisatawan dapat menggunakan kendaraan roda empat atau dua dengan menggunakan jasa angkutan sarana wisata yang disediakan di Labuan Bajo. Harga sewa kendaraan roda empat Rp. 800.000,-/per hari dan kendaraan roda dua Rp. 75.000,-/per hari. Bila dibandingkan dengan Pulau Bali atau Lombok relatif lebih mahal, hal ini disebabkan karena kondisi medan yang cukup sulit ketersediaan bahan-bahan peralatan mobil yang terbatas. Kondisi jalan trans Flores dari Labuan Bajo sampai pertigaan Bambor sudah sangat baik dengan kualitas jalan beraspal. Sedangkan jalan pedesaan dari pertigaan Bambor masih butuh banyak perbaikan karena masih banyak jalan rusak dan belum diaspal.

Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat membutuhkan kesabaran dan keonsisten oleh semua pihak terutama kesabaran dalam mendampingin dan tetap menjaga moment rasa semangat masyarakat lokal untuk melakukan perubahan kepada yang lebih baik. Flores sebagai destinasi pariwisata unggulan mempunyai peluang yang sangat besar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat. Semoga kawasan wisata Danau Sano NGGoang akan tetap Menyala sesuai dengan maknanya dan akan memberikan penghidupan bagi masyarakat sekitar dan kita semua.

Senin, 26 Desember 2011

Kumpulan foto Tragedi sape berdarah





Rakyat Terus Dijajah

Tragedi Sape Berdarah

Senin (19/12/2011) hingga Sabtu (24/12/2011) ribuan warga Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Bara menduduki Pelabuhan Sape. Tindakan tersebut merupakan wujud protes atas keberadaan perusahaan tambang emas di Lambu. Keberadaannya dinilai merugikan warga dengan alasan merusak sumber air satu-satunya di pemukiman warga setempat. Pendudukan Pelabuhan Sape dilakukan warga selama hampir seminggu melumpuhkan aktivitas.

Arif Rahman, korban meninggal dalam tragedi sape berdarah, NTB
Surat kabar local Lombok Pos memberitakan Polisi dari satuan Brimob masuk ke areal pelabuhan untuk negosiasi dengan pendemo sekitar pukul 07.00 WITA pada (24/12/2011). Negosiasi cukup alot. Pendemo meminta polisi memperlihatkan surat jaminan dari Kapolda NTB yang telah menjanjikan mengawal kasus pembatalan izin tambang emas.

Warga menilai tambang emas di Lambu dan Sape dapat merusak lahan pertanian dan tambak milik mereka. Koordinator pendemo pun menyuruh massa mundur. Namun polisi kemudian menarik turun koordinator dan tembakan dilepaskan ke arah warga. Warga pun lari menyelamatkan diri.

Beberapa warga dihajar dan dipukul oleh polisi. Pembubaran paksa massa di Pelabuhan Sape selesai sekitar pukul 09.00 WITA. Warga yang kabur kembali ke Desa Bugis, sekitar 300 meter dari Pelabuhan Sape terus dikejar aparat. Di Desa Bugis, polisi melakukan tembakan.


Polisi menemukan dua warga tewas akibat tembakan. Aris Rahman (19) dan pelajar bernama Syaiful alias Mahfud (17). Massa merespons kejadian ini dengan membakar Polsek Lambu, Kantor Kecamatan Lambu, rumah kepala desa, warga, dan anggota DPRD Bima yang dianggap pro tambang

Tindakan ribuan polisi  yang sangat represif tidak mencerminkan institusi POLRI. Desingan tembakan yang dilakukan polisi yang menewaskan warga 2 orang. Puluhan kritis dan luka-luka menjadi bukti buramnya lembaga parat hukum.

Slogan polisi “Mengayomi, Melindungi dan Melayani”  sekadar slogan, rasa aman nyaman hanya oase belaka. Tragedi kasus Mesuji berdarah, kasus pembubaran kongres rakyat di Manokwari Papua Barat dan blokade pelabuhan Sape dibubarkan di Bima NTB. Semua berujung pada keberpihakan aparat kepada perusahaan.

Suatu bentuk tindakan yang sangat disayangkan, ini wujud nyata tirani. Telah mengukuhkan tindakan amoral dari aparat yang harusnya memihak rakyat kecil termarginalkan. Kekerasan yang terjadi merupakan realitas buruk dari sikap aparat karena tidak mampu melindungi dan mengayomi warga.

Ironisnya petinggi Polri malah membenarkan tindakan brutal tersebut, dalam sebuah stasiun televisi nasional. Polri menegaskan tindakan yang diambil aparat sudah sesuai prosedur. Apakah penembakan yang menewaskan warga adalah sebuah prosedur yang baik untuk kasus bima?

Sosiolog, Prof. Thamrin, mengatakan tindakan aparat kepolisian yang menembaki warga hingga tewas, menyeret dan memukul warga adalah tindakan brutal, represif dan lebih buruk dari sikap Polisi pamong praja. Tindakan Brutal ini adalah bukti pemerintah telah berselingkuh dengan perusahan.

Perselingkuhan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dengan pemilik modal kian mengila, kasus Freeport di Papuan, Mesuji di Sumatra, Aksi jahit mulut warga Riau depan kantor DPR RI, Tragedi Sape berdarah adalah deretan pemerintah bersekutu dengan pemilik modal dengan mengorbankan kepentingan warga Negara. Hak hak fungsionaris adat dinjak injak oleh kebijakan yang mementingkan  pemodal. Prof. Thamrin mengatakan sejak awal UU di Negara ini berpihak pada kapitalis. “mulai dari UUD yang kemudian direvis hingga peraturan daerah kebanyakan dibuat untuk kepentingan pemilik modal” kata Thamrin di sebuah televise Nasional

Lembaga adat ada jauh sebelum Negara ini ada, lembaga adat memiliki tanah ulayat dan memiliki aturan baik yang berhubunngan dengan Tuhan maupun, sesame dan alam. Sejak penyebaran agama masuk berlahan ritual ritual adat yang dinilai “haram” oleh agama berangsur hilang. Setalah agama, kini giliran pemerintah, melalui sejumlah peraturan lembaga adat terus diserang, tanah ulayat adat dicapok, warganya diungsikan. Akibatnya banyak warga kehilangan tempat tinggal hingga korban jiwa.

Praktek pemerintahan seperti ini biasanya tumbuh subur di wilayah pemerintahan yang subur korupsinya, regulasi menjadi komoditas jual beli antara pemerintah dan pemilik modal. Awalnya perselingkuhan hanya terjadi antara pemerintah pusat dan pemilik modal namun kini sejak UU otonomi daerah perselingkuhan tersebut merambah ke daerah. Tragedi sape berdarah, konflik pertambangan di  wilayah manggarai Raya,NTT adalah bukti yang tak terelakan kalau perselingkuhan pemerintah daerah dengan pemilik modal itu benar ada.  

Negara memainkan peran penjajah, warga ditembak mati, dipukuli, ditendang, diseret seperti binatang, tanahnya dirampas, sumber daya alam dikeruk. Katanya mau menyesejahterakan rakyat, tapi kenapa rakyat terus terusan hidup miskin? Kurang pendidikan, tak dijamin kesehatannya? Bukankah tugas Negara menciptakan kesejahteraan, pendidikan gratis, kesehatan diyamin.

Untuk melawan perselingkuhan yang menghancurkan ini saya kira penting untuk melakukan penguatan lembaga lembaga adat, memperjuangkan hak hak lembaga adat dan terus melakukan perlawanan terhadap kebijakan Negara yang cendrung membunuh hak hak lembaga adat. Masuji, warga papua dan Bima adalah bukti bahwa mereka tidak mau terus dijajah oleh kebijakan pemerintah di Negara ini.
MARI TERUSSS LAWANNNN….

Minggu, 25 Desember 2011

Natal 2011, Perang terhadap Hedonisme dan Kekerasan


"Marilah memohon kepada Tuhan untuk membantu kita agar tidak silau dengan gemerlap yang tidak bermakna pada tahun ini, dan menemukan pesan di balik (kelahiran) bayi di kandang kuda di Bethlehem, sehingga bisa menemukan kebahagiaan dan cahaya yang sejati," Paus Benediktus XVI

Maraknya komersialisasi perayaan Natal menjadi keprihatinan Paus Benediktus XVI. Dalam homili misa malam Natal untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus di Gereja Basilika Santo Petrus, Vatikan, Sabtu (24/12) pukul 22.00 waktu setempat atau sekitar pukul 04.00 WIB, paus mengajak umat Katolik menemukan makna Natal yang sejati.

Proses globalisasi dan osmosis budaya sosial politik ekonomi supramodern menjerumuskan perayaan Natal ke dalam jaringan bisnis nan hedonistik, bahkan terjebak dalam muatan hasrat mencari keuntungan. Bawah sadar hasrat kompetitif mendominasi komunitas, toko, mal, dan hotel dengan hiasan-hiasan pernak-pernik Matal. Ada indikasi, gebyar aksesori dan selebrasi itu terkontaminasi rasa gengsi.

Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam rangka Natal adalah makna kehidupan yang hendak ditawarkan. Sang Bayi yang lahir di Betlehem lebih dari 2.000 tahun silam, lahir dalam situasi nista di kandang hewan dan dibaringkan di palungan, bahkan hanya dibungkus lampin alias gombal amoh (Lukas 2:6). Namun dengan cara itu, pesan membela kehidupan kaum papa jelata miskin tersingkir tertindas hendak dikumandangkan ke segala ujung dunia.

Yesus lahir ke bumi untuk membela kehidupan umat manusia dalam segala keadannya, terutama mereka yang tidak beruntung, tertindas dan marginal. Kelahiran-Nya memuat janji pemulihan dan pemuliaan kehidupan manusia agar mengalami kasih setia dari Allah.

Kemiskinan di palungan yang harus ditanggung sejak kelahiran-Nya mengisyaratkan visi misi masa depan kepemimpinan-Nya dalam membela dan merayakan kehidupan umat manusia, utamanya kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan termarginalkan. Kelahiran Yesus dalam situasi kesakrat menjadi jawaban atas pertanyaan: mana mungkin kita yang tidak miskin dan tidak pernah menderita, mampu menghayati kemiskinan dan penderitaan kaum lemah tersingkir yang hidup serbapenuh malapetaka dan derita? Ia sudah membuktikannya dari semula sejak kelahiran-Nya.

Maka bila kelak dalam penampilan publik-Nya setelah beranjak dewasa dan berkarya, Ia berseru, ‘’Datanglah pada-Ku hai kalian yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan bagimu.’’ (Mateus 11:28) sangatlah bisa dipahami. Sabda itu adalah sabda kehidupan, bukan sekadar janji politis palsu demi tebar pesona.

Sebuah Perayaan Kemanusiaan

Natal adalah sebuah perayaan kemanusiaan. Merayakan Natal berarti membela kehidupan. Membela kehidupan terwujud bila kita mampu membangun budaya antikekerasan. Wajah bangsa kita belakangan ini sangat dekat dengan kekerasan.

Orang begitu mudah melecehkan martabat kehidupan dengan mengumbar kekerasan, bahkan secara sadis membunuh sesama. Kekerasan menghiasai media massa, seakan-akan kekerasan sudah menjadi infotainment.

Kita prihatin dan sedih membaca berita barbarisme masih terjadi di negeri ini. Paling aktual sedang disorot publik adalah tragedi Mesuji. Tragedi pembunuhan 30 petani di Kabupaten Mesuji, Lampung, yang diduga dilakukan oleh personel pamswakarsa perkebunan kelapa sawit dan oknum polisi itu sangat mengusik nurani kita.

Lepas dari simpang-siur berita tentang berapa jumlah manusia yang mati (Mabes Polri mengoreksi ‘’hanya’’ 9 orang) dalam tragedi itu, tindakan membunuh sesama, bahkan memenggal kepala adalah tindakan barbar sadistik, tak beradab. Sebelumnya tragedy kemanusiaan terjadi di papua dan kabar terbaru terjadi di kabupaten Bima, NTB.

Akar dari semua itu adalah tiadanya penghargaan terhadap martabat kehidupan yang harus diretas dengan budaya antikekerasan. Budaya antikekerasan mendesak diwujudkan di tengah masyarakat, sekaligus menjadi antisipasi agar orang membela kehidupan.

Meretas budaya kekerasan demi membela dan merayakan kehidupan bukan urusan agama tertentu melainkan menjadi komitmen semua agama. Semoga perayaan Natal, yang juga merupakan perayaan kemanusiaan, kian menginspirasi masyarakat kita bahwa kelahiran Sang Bayi dan bayi-bayi lainnya adalah pangkal masa depan kehidupan yang bahagia, apabila kita mampu menempatkannya dalam ranah perdamaian, harmoni, keadilan, dan kesejahteraan. Selamat Natal 2011.


Senin, 12 Desember 2011

SETELAH “SONDANG” MEMBAKAR KITA

NABI ABRAHAM suatu ketika di uji Tuhan, ia taat maka Ishak anak kesayangannya ia antar sebagai persembahan, kurban bakaran. Dalam kitab Kejadian dituliskan, setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham, “lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.” FirmanNya: “Ambilah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” (Bdk Kej 22:2-3)

Kisah ini berakhir dengan dibatalkan seluruh upacara pembakaran itu, Ishak digantikan domba sebagai persembahan. Tetapi berserulah Malaikat Tuhan dari langit kepadanya: “Abraham, Abraham.” Sahutnya: “Ya Tuhan.” Lalu Ia berfirman: “Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, sebab engkau takut akan Allah, dan engkau tak segan-segannya menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” (Bdk Kej 22:11)

TAK SETUJU CARA SONDANG
Ketika identitas pelaku bakar diri terkuak, bulu roma saya saat itu, tiba-tiba bergidik. Tidak saja karena ulah nekat pelaku, motivasi dibalik aksinya, namun karena sondang adalah mahasiswa, orang muda Indonesia. Cara sondang mengekspresikan kekecewaannya terhadap rezim, bagi saya sangat tidak wajib untuk dijadikan acuan. Bunuh diri bukan cara! Ini keyakinan saya. Bagi saya masih banyak pilihan ekspresi yang jauh lebih kreatif, yang mampu membangkitkan gairah baru perlawanan. Sekali lagi bunuh diri bukan cara! Tapi apa yang saya katakan tak mungkin lagi membangunkan Sondang. Dia, sondang telah memilih jalannya. Sondang telah mati, dia hangus terbakar, namun saya percaya spirit perlawanannya sedang menyala, hidup dihati semua kaum yang mencintai keadilan. Ini salah satu hikmah, setelah sondang membakar kita !


Pada kesempatan lain, sahabat Lilik (Lilik Krismantoro, red) bercerita, suatu ketika di seorang sahabatnya, anton di Kuningan, meninggal dengan kegelisahan yang sama, dia gantung diri karena kegelisahannya akan tanah air dan kemanusiaan. Hanya saja dia tidak menjadikan bunuh dirinya sebagai aksi publik. Saya menghormati kematian-kematian itu, saya menghormati panggilan yang tersembunyi di baliknya, tetapi saya menyayangkan pilihan tindakannya.

Maka menjadi penting untuk menarik momentum ini, dari momentum heroisme bunuh diri, menjadi momentum produktivitas orang-orang muda, agar mahasisw merenungkan siapa dirinya, panggilannya, dan cara lain yang tersedia untuk menjadi Indonesia” demikian Lilik dan saya setuju dengannya.

Jika diamati, setelah aksi bakar diri Sondang, cukup berimbang komentar seputar peristiwa ini, di beberapa akun facebook tidak sedikit orang muda yang mencibir, menertawakan bahkan ada yang tega mengatakan ini kekonyolan. Namun tidak sedikit pula yang mendukung cara sondang, kemudian mengajak untuk bertempur, atau bisa dibilang, memanfaatkan kisah sondang untuk membangun sebuah perlawanan baru.

Selain itu tanggapan dengan nada 'provokatif' justru muncul dari beberapa tokoh politik. Bagi saya menanggapi aksi sondang sebaga sebuah kekonyolan, apalagi diucapkan orang muda sungguh menyakitkan. Pada aras lain usaha penunggangan kematian sondang untuk kepentingan politik kekuasaan adalah kekurang-ajaran. Seperti Lilik, saya menghormati pilihan sondang/anton untuk berkurban meski saya tidak menyetujui cara mereka berkurban.

SETELAH “SONDANG” MEMBAKAR KITA
Kisah Nabi Abraham diatas bagi saya bisa dijadikan acuan kita, khususnya mereka yang percaya pada Allah (kaum beriman). Tuhan saja melarang Abraham mengurbankan anaknya, demi sebuah kesetiaan. Lantas apa pilihan yang bisa dilakukan orang muda/mahasiswa untuk mengekspresikan idealismenya.

Kembali saya mengutip Lilik, kita bisa terlibat di kelompok aksi untuk advokasi dan pendampingan mereka yang tertindas dan tersingkir. Bisa mengadakan kampanye penyadaran dengan berbagai media pada masyarakat juga kepada orang-orang muda lainnya yang sekarang seperti tertidur akan tantangan kebangsaan yang kian memprihatinkan. Mampu membangun gerakan-gerakan alternatif yang menunjukkan, kalau kita semua bisa hidup dengan cara yang lebih bermoral dan menjunjung semangat keadilan dan kemanusiaan.

Kita bisa membuat musik, puisi, novel, film indie, pamflet, poster, mural, blog, website untuk mengekpresikan Indonesia versi kita. Menganalisa situasi bangsa ini, dari semua segi, semua sisi, agar kita semua lebih memahami bagaimana bangsa ini telah diperas dan dibodohi, bahkan bisa memilih untuk mengajar di daerah terpencil, atau menulis di koran-koran, buku, surat pembaca, blog, atau dimana saja, termasuk surat cinta pada kekasih tercinta, bahwa hubungan cinta bakal tak bisa hidup damai ketika Indonesia masih seperti ini, cinta harus juga berarti perjuangan untuk Indonesia.

Kita bisa membangun relasi ke luar negeri dan membangun solidaritas bagi pemerdekaan negeri ini dan juga bisa memilih satu bidang khusus yang jarang digeluti dan memaksimalkan diri kita di situ, membuat penemuan dan menulis prestasi, menunjukkan bahwa Indonesia kita mampu membuat prestasi yang tak kalah dari bangsa lain di dunia. Kita juga bisa memilih satu bidang seni dan budaya, melestarikan bahasa daerah dan tradisi yang terancam hilang, kalau kita tidak masuk ke dalamnya dan ambil bagian. Kita bisa berjanji kelak kalau kita jadi penguasa, tak bakal korupsi, menindas mereka yang miskin, merusak lingkungan, dan menjual Ibu pertiwi. Kita bisa menjadi seorang sahabat yang baik bagi setiap orang yang membutuhkannya. Kita  bisa menjadi sumber cinta, inspirasi, perhatian, dan perdamaian bagi dunia dan sahabat terdekat kita ! Yakin kita bisa !! (fw)

Referensi: Catatan Lilik Krismantoro, Facebook (terima kasih bung untuk pesan-pesan yang menginspirasi)

Minggu, 11 Desember 2011

For the Manggarai people of Flores, coffee is more than just a crop or a drink.

The coffee was Arabica

It was served in a petite, colorful glass, its jet-black residue banked up at the bottom. The gritty texture gently massaged my tongue, tickling the excitable tissues of my soft palate. As I waited for its lean acidity to unravel itself fully from the intoxicating sweetness of the sugar that had captured my taste buds, I raised the glass close to my nostrils and inhaled greedily. The rising vapor settled within me, its warmth filling my nasal cavities, its gorgeous aroma sending my olfactory nerves firing on all cylinders. My eyes, shorn of conscious control, rolled upward, as if my irises had arranged a tryst with my drooping eyelids.

During that timeless yet transient moment, Manggarai coffee entered my soul. The spell of ecstasy was broken by the honest, impish laughter of children, directed right at me. The adults couldn’t help themselves either – the otherworldly potency of this flavorful blend must have spoiled me such that I looked downright ridiculous to them. So I endeavored to straighten my face, trying to appear more sensible – with meager success – as I carried on sipping this divine drink, lingering as long as possible, until nothing remained but sludge.

“Some more?” An elderly woman with a shiny smile emerged from inside the house, a sooty tin kettle in hand. After a questioning glance at my partner – with the steaming mug clasped between her palms, she was lost in her own bubble of pleasure – I nodded.

It was only our second serving, but the people we’d met just minutes before had suddenly become affectionate friends. It was a cool, cloudy late afternoon in Melo, a pristine village surrounded by lush valleys and the stately vertebrae of volcanoes, in the region of Manggarai, Flores. Dark, menacing clouds were convening in great numbers above us, yet rain was hesitant to come down.


All the better. The villagers, done with their morning work in the fields, were able to flock to this simple house built of neat narrow planks, to chat about life over the ubiquitous cups of freshly brewed, sweetened Manggarai coffee. Indeed, life for these people revolves around Coffea arabica and the mighty beverage humanity has brewed from it: Next to me sat a young mother with a toddler, who could barely say hello but was already practiced in the art of imbibing coffee from his plastic demitasse.

Coffee Manggarai: Black Gold

From a very young age, children of the Manggarai tribe must not only learn to drink their homegrown coffee and love it (that comes pretty naturally), but also to weave the daily sight of – and interaction with – the coffee plant, with its budding flowers, its fleshy red cherries and especially its fragrant beans, into their narrative of reality. As I joked with the younger boys, two girls aged no more than 10 were gaily pounding pestles taller than themselves into a huge timber mortar, rhythmically, dexterously pulverizing the beans inside into rough powder.

“We do this sometimes once or twice a week, sometimes every other day,” the woman who’d served us the brew remarked. “Always plenty of beans for all of us!”

Why, of course. I peeked through the window of a large shack beside the house: Inside, girls and young women were industriously helping their mothers sort the mounds of dried beans they’d collected in straw baskets.

Most of these greenish beads of bliss would go straight to the market, to be consumed, sooner or later, by someone sitting in a cafeteria on the other side of the world. (That’s how coffee and a few other commodities like candlenut and cocoa help most families in Manggarai make a living and send their children to school.) The rest would stay here, ending up at the bottom of people’s cups after being stripped of their shape, zest, taste and scent. Only the black sheen would remain.

For devout coffee aficionados such as the Manggarai, whose fertile highlands are blanketed in plantations of one of the most adored – and heavily exported – coffee varieties in Indonesia, freshness is the main – if not the only – point of concern. Roasting raw coffee beans is a routine commonly observed in any kitchen or backyard on a typical afternoon, whether here in Melo or in a neighboring village. As for grinding, not a day goes by in this coffee country without at least a few households engaging in this activity.

In Their Veins

As the sky gradually turned gloomier, the fathers and the older boys came home, to the welcoming gestures of the women. These men had just returned from a caci performance held not far from the main road. The Manggarai’s most celebrated traditional whip-fighting ritual turned sporting event, caci is customarily held after a major rice harvest for the sake of the communities involved, or as a sideshow to celebrations of certain national holidays. In the latter case, however, it is more an ostentatious spectacle for attraction-thirsty tourists than a sincere display of gratitude toward the munificence of Mother Earth and the ancestral spirits.

Bare chested, but sporting ornate headgear and finely crafted accessories around their waists, the caci fighters grabbed what empty chairs among us there were. Some simply sat down on a patch of grass, not remotely concerned about keeping their splendidly woven songket sarong bright and spotless. After a long day of preparations, succeeded by brief but fierce bouts of fighting, they were finally allowed their peaceful moment of repose.

Some of the men returned from the battle-dance with fresh wounds, embellishments on their solid arms, their rigid backs, their broad chests. A warrior had had the skin on the left side of his abdomen torn quite badly; the gash was covered with a slender streak of thickening blood. A curious boy poked the wound with his tiny fingers; the warrior squeaked in surprise, to which the kid, and of course the crowd, responded with frenetic laughter. His wounds, and those of the others, would soon enough be tended by mothers, wives, daughters or sisters. But the first line of treatment for these warriors following their demonstration of valor was not attention to those blood-smeared cuts. Instead, they were handed coffee.

Only a short while later, the first droplets of rain began to hit the soil. For us, that was our curtain call, as we had to leave to resume our journey eastward. Hours earlier, we’d left Labuanbajo with its punitive heat, dusty streets and mesmeric sunsets. Our sojourn in Melo didn’t even last an hour, yet this village felt so much more serene – so far removed from the maddening din that governs Labuanbajo.

Brew to a Thrill

Ah, Labuanbajo. This quirky port town at the western tip of Flores continues to be the island’s most evident embodiment of growth, a magnet not just for tourists, who flock to the spot partly thanks to the Indonesian government’s wholehearted efforts to promote Komodo National Park to the world – face off with a monstrous dragon, anyone? – but also for native people from rural areas in pursuit of better jobs and more lucrative prospects in the booming economy.

It isn’t that hard, however, to sense how the budding town is at odds with itself. At any one time, you might hear that at least two or three luxury hotels are being developed, sending the prices of beachfront properties shooting into the stratosphere. Yet good manners, let alone proper hospitality, among those working in the hospitality business are still a rarity.

But in Melo – at least in Melo – hospitality is never an issue. Although they might never have even heard of the word, their hospitality is expressed, unrefined as it is, through the cup of coffee they bring you with a cheery countenance the minute you step into their house.

In our quest to discover the multifarious facets of Flores, particularly those still unglazed by the monochromatic golden tint of commercial tourism, we embarked from Labuanbajo in the relatively well-known (though not yet well-worn) west, to Larantuka, deep in the more enigmatic east.

Sitting in a truck, winding along the Trans-Flores “highway”, an erratically fragmented, rutted road so perilously jagged I guess only Florinese drivers can master it – but which also gives you more than 600 kilometers of an untamed, terrible beauty – I let my mind wander.

I closed my eyes, shutting myself off from the hypnotic landscape before me. Even deprived of sight I could picture what I missed: mountains crashing upon mountains, the ground tearing itself apart ever so sluggishly, at geological pace, carving ridges and savage cliffs out of bedrock, an arresting landscape marbled with luminescent staircases of rice fields alternating with impenetrable islands of tall ancient trees.

But I couldn’t help my tongue. In abject loneliness, it began to roll inside my mouth. It searched and searched, prying deep into the nooks between my teeth, sliding along my gums, for a hint of that indescribable taste, familiar only moments ago but now sorely missed. All I pined for was what had once been in my soul – that liquid hospitality called Manggarai coffee.

 

 



Senin, 05 Desember 2011

DPRD Mabar Jawab persoalan Pertambangan dengan “Onani”

“Kalian bilang Tolak tambang tapi tidak berpikir Cincin Uskup terbuat dari apa, Piala serta bahan ekaristi lainnya?. Semua itu Kan mengunakan bahan tambang. Bilangnya Tolak tambang tapi masih mengunakan HP, Komputer, naik motor, naik mobil. Bahkan Kelompok penolak tambang sangat sering mengunakan Facebook. Kalian menolak tambang tanpa memberi pilihan alternatif. Tolak tambang setelah itu bikin apa. Kalian  Asal omong tolak saja. Asbun alias asal bunyi. Biar dibilang aktifis lingkungan. Berdemoria  yang berujung pada kompesasi proyek pada Rezim GustI. Karena GustI juga tolak Tambang”

Add caption
Inilah olokan yang dilontarkan sesorang pro tambang di Manggarai Barat ketika berbincang dengan saya di jakarta beberapa waktu lalu menanggapi sikap kritis GERAM serta Gereja katolik terhadap kegiatan pertambangan di wilayah Manggarai Barat. Mereka sedang melakukan “bunuh diri filsafat”, atas ketidakmampuannya menjelaskan hubungan antara  pertambangan dengan kemakmuran rakyat yang sebenarnya tidak perna memiliki korelasi positif itu.

Di wilayah Manggarai Barat, mantan Fidelis Pranda yang menjiwai soehartoeisme selalu memberikan ilusi ilusi tentang “kemakmuran” dan “kesejahteraan” dari eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari Bumi Manggarai Barat. Hal yang sama juga dilakukan oleh para insvestor pertambangan. Aliran devisa, penyediaan lapangan kerja, memepercepat pertumbuhan ekonomi, mempercepat pembangunan Manggarai Barat serta menguranggi kemiskinan adalah mantra setan yang mereka gulirkan secara terus menerus untuk menghegemoni rakyat bahwa kehadiran industri pertambangan mutlak dibutukan. Sehingga yang menolak tambang berarti juga menolak PANCASILA


Rezim Soeharto memang berlalu, namun rezim rezim pengantinya masih bergentayangan dan mewariskan kebijakan sebelumnya. Inilah kesesatan berpikir pemerintah yang memaknai era globalisasi pada pasar bebas hanya dari sudut pandang ekonomi, sementara banyang bayang bencana tanah longsor, krisis air bersih, krisis pangan, wabah penyakit, panas gobal yang sekarang ini terus menghantui rakyat dunia, sama sekali tidak cukup penting untuk dipikirkan.

Bayang bayang Rezim soehato juga ada dalam jiwa jiwa Anggota DPRD Manggarai Barat. Memang tidak semua. Di lembaga rakyat ini sangat sibuk dengan mencari cela mengamankan investasi pertambangan di wilayah pariwisata itu, kemudian melupakan nasib rakyat kebanyakan yang menentang kebijakan pertambangan.

Sebelumnya DPRD Manggarai Barat sempat mendapat apresiasi rakyat ketika mengeluarkan surat pemberhentian aktifitas pertambangan di wilayah itu. Surat opemberhentian ini dikeluarkan setelah GERAM terus mendesak sikap politik DPRD. Dukungan politik rakyat terus mengalir sekaligus mempengaruhi konstelasi politik dalam Pileg 2009, para oknum yang getol menolak tambang sebut saja Mateus Hamsi, Blasius Jeramun, Editadius Endi, Silverter Syukur, Abdul Azis, Frans sukmaniara terpilih kembali. Sementara para pengerak tolak tambang terpilih Bernadus Barat Daya, Stefanus Herson hingga Vitus Usu yang selalu membantu logistik gerakan tolak tambang mendapat jipratan dukungan politik. Dukungan politik ini juga direbut GustI, pihaknya mengkampanyekan tolak tambang. GustI-pun menang telak satu putaran dalam pertarungan politik pilkada 2010. 

Ironisnya setelah mendapat kepercayaan penuh dari rakyat DPRD Manggarai Barat kini berwajah lain. Sikapnya kini sangat romantis dengan investor pertambangan. Entah kenapa? Ditengah Memoratrium bupati menghentikan aktifitas pertambangan, DPRD Mabar malah mengeluarkan rekomendasi aktifitas pertambangan. Roh apa yang ada dalam jiwa masing oknum DPRD Mabar? Kalau Roh kudus,  kepercayaan rakyat selalu dipegang teguh. Saya menduga apa praktek komersialisasi kebijakan. Rekomendasi yang dikeluarkan itu dibeli dengan harga sangat tinggi oleh pihak perusahaan pertambangan.

Dugaan lain dari pristiwa hilangnya roh kerakyatan DPRD mabar adalah persoalan internal partai, sebut saja Golkar. Kebijakan partai Golkar memang harus menerima semua aktifitas pertambangan, setelah partai yang perna berkuasa di rezim otiter ini dipimpin Aburizal Bakrie. Siapa yang tidak mengenal Bakrie di republik ini, lapindo adalah sati fakta prilaku buruk Bakrie dalam investasi pertambangan. 

Partai PDI Perjuangan-pun demikian. Partai yang katanya milik wong cilik alias rakyat miskin ini di wilayah NTT tak lagi mengembangkan semangat partai wong cilik. Pimpinan PDI Perjuangan di wilayah NTT yang sementara ini menjabat  Gubernur NTT jelas berihak pada  investor pertambangan. Program anggur merah ternyata terselip banyak kebijakan pertambangan.

Partai Hanura jangan disebut lagi, partai ini sangat jelas membelah kepentingan pertambangan di Manggarai Barat. Ketua Hanura Kab. Mabar adalah Fidelis Pranda, sehingga rakyat tidak meragukan lagi kalau partai ini akan tanam kaki pada industri pertambangan. Lalu, dimanakah mantan ketua GERAM, Bernadus Barat Daya, Frans sukmaniara dari Demokrat, Edi Endi, Stef Herson, Vitus Usu dari PAN? Ikut “bermain”?, atau memilih “diam”? atau membela masyarakat dengan setenngah hati? Yang jelas dengan munculnya rekomendasi DPRD,  menunjukan orang orang ini tak bisa diharapkan.

Jika benar ada komersialisasi kebijakan di DPRD Mabar, berarti DPRD Mabar sedang mengalami kebangkrutan moral yang mengerus kepercayaan publik. Bahwa sesunguhnya telah terjadi kebangkrutan kepercayaan serta kebangkrutan legitimasi terhadap DPRD. Tiga kebangkrutan fundamental. Lalu dengan dasar apa DPRD masih layak memutusakan kebijakan publik atas nama rakyat?

DPRD Mabar belakang lebih banyak “beronani” ketimbang memberi “kenikmatan” hidup pada rakyat. Oleh karena itu sebaiknya DPRD berhenti bersidang, dengan memperpanjang reses hingga sampai masa kontrak 2014, sampai rakyat memilih DPRD penebus hasil pemilu mendatang. Anggap saja DPRD sekarang ini koma, pingsan berantakan akibat keracunan berbagai kelakuakn jorok. Kiranya untuk sementara DPRD Mabar berjalan tanpa DPRD yang suka “beronani” itu.

Ada Pemadam Kebakaran DUMA


Setiap orang sudah tahu tugas instansi pemadam kebakaran. Bekerja 24 jam, selalu siap siaga baik peronil maupun peralatan. Mobil Pemadaman selalu terisi air. Jika terjadi kebakaran reaksi cepatpun dilakukan, sirene dibunyikan kemdaraan lain wajib hukumnya menepi memberi ruang sang pemadam melaju mulus dijalanan.

Anggota pemadam kebakaran diberi bekal khusus, tentu saja saya tidak bisa gabung didalamnya karena perekkrutannya berstandar khusus. Jiwa seorang pemadam kebakaran juga dilatih secara khusus, “pantang mundur sebelum padam” itu semboyan sang pemadam kebakaran. Mereka dilatih untuk pasang badan, sekalipun nyawa menjadi taruhannya.

Istilah pemadam kebakaran belakangan dipakai untuk mengkritisi sikap pemerintahan yang reaktif mengatasi persoalan kerakyatan. Ketika terjadi persoalan baru bergerak, selalu realitas yang mempengaruhi kesadaran.
Belakangan gaya seorang pemadam kebakaran muncul dalam jejaring social, salah satu yang sering saya perhatikan adalah jejaring social Facebook, yang saya namakan Pemadam kebakaran DUMA (Dunia Maya). Anggota Pemadam kebakaran DUMA bisa dikatakan disiapkan secara khusus atau seseorang dengan kemauan sendiri. Berlatar belakang birokrat atau swasta (Kontraktor, preman) sebagian berwujud sebagian lagi tidak.


Pemadam kebakaran DUMA bereaksi cepat dalam status status yang mengkrucut pada kritikan kritikan, khususnya penyelenggaraan pemerintahan. Pemadam kebakaran DUMA tentu saja ini sebuah pangilan untuk memadamkan status status itu, dengan cara memberi komentar yang tidak ada hubungannya dengan tema postingan/status, hal ini agar proses diskusi menjadi kabur. Cara lain adalah dengan membuat postingan baru, dengan demikian postingan kritikan tergeser dan luput dari perhatian para member Group. Pemadam kebakaran DUMA juga mengunakan cara memposting tema tandingan dan menarik perhatian member group, ukuran keberhasilan pemadam kebakaran DUMAI ini adalah member berfokus pada postingannya.

Hampir sama dengan petugas Pemadaman kebakaran “Nyata”, petugas pemadaman kebakaran DUMA juga “pasang badan”, “tanah kaki” berjuang membela sang “prabu”. Sang Prabu dibela karena disana banyak kenikmatan. Setiapkali selesai melakukan pemadaman postingan/status kritikan, sang pemadam kebakaran DUMA lalu melapor pada sang Prabu. “tadi ada postingan pa, serang bapak lagi. Tapi saya sudah amankan, saya bantah psotingan itu” kira kira begitu isi laporan sang pemadam kebakaran DUMA sekaligus menunjukan print out hasil kerjanya. Maka pujianpun didapat yang berujung pada kompesasi (proyek, Finasial, jabatan)

Beberapa kawan menilai para pemadam kebakaran DUMA adalah sebuah profesi, pekerjaan yang mendatangkan profit. Memberi klarifikasi layak seorang PR dari institusi yang dikritik.
Kira kira begitu….selamat buat para pemadam kebakaran DUMA.