Headline

1.341 Pejabat Publik Daerah Terlibat Korupsi * Bruder "Preman" Pontianak * Petani Kopi Bajawa Kesulitan Modal * Coffee Manggarai: Black Gold * Tradisi “Suap” dan "memburu" proyek * Kota Labuan Bajo Terus Berkembang *

Minggu, 26 Februari 2012

"Tidur Pun Kami Digaji”

Membaca berita tentang kelaparan di NTT di tengah boomingkasus korupsi negara ini, mengingatkan saya pada kelakar warga miskin di NTT tentang berbagai bantuan yang mereka terima dari pemerintah. Salah satu kelakar yang menarik untuk disimak adalah ‘tidur pun kami digaji’.

Bisa saja kelakar seperti itu ditanggapi sekadar sebagai kelakar. Namun kelakar yang disampaikan dengan nada ironis dan satiris seperti itu sebenarnya adalah kritik tajam yang ditujukan pada kita semua. Disadari atau tidak, kita telah menghidupi sebuah sistem yang bernama ‘tidur pun kami digaji’. 

Anak-anak NTT terus diancam persoalan Gizi Buruk

Defisit Kepercayaan Diri
Penanggulangan kemiskinan selalu tertulis sebagai prioritas program pemerintah. Namun dalam praktiknya program penanggulangan kemiskinan cenderung lebih banyak berdimensi jangka pendek dan berkerangka emergency, seperti yang terjadi pada beras untuk rakyat miskin (raskin), bantuan langsung tunai (BLT), pemberian makanan tambahan (PMT), dan berbagai bantuan lainnya.

Beragam bantuan itu bisa jadi dimaksudkan untuk dapat membantu meningkatkan  produktivitas program pemberdayaan bagi kelompok miskin. Namun tidak seperti itu yang terjadi di lapangan. Beragam bantuan yang diberikan dengan mengabaikan sistem sosial ekonomi budaya lokal telah menciptakan kondisi ketergantungan di kalangan warga miskin, yang mengarah pada defisit kepercayaan diri untuk bisa keluar dari kondisi miskin. Kelakar ‘sawah kami di Jakarta’ adalah salah satu cerminnya. Ini bukan  sekadar kelakar karena yang terjadi di kabupaten Flores Timur, misalnya, bantuan dalam kerangka Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) membuat petani mengurangi kerja kebun. 

Di beberapa kabupaten lain seperti Manggarai dan Sumba Timur, kucuran bantuan dalam kerangka PNPM melemahkan organisasi komunitas yg selama ini telah membuktikan diri mampu mengatasi masalah pangan dan gizi secara mandiri.  Studi tentang penanganan masalah gizi di sembilan kabupaten di NTT yang dilakukan Institute Ecosoc salah satunya menemukan berbagai bentuk kelakar yang substansinya adalah ‘tidur pun kami digaji’.
Karakter Sosial?
 “Tidur pun kami digaji” bukanlah monopoli kelompok miskin. Ada indikasi, defisit kepercayaan diri itu telah menjadi bagian dari karakter sosial masyarakat kita, terlebih elit politik. Posisi Indonesia sebagai negara terkorup di kawasan Asia Pasifik adalah salah satu indikasinya. Hanya dengan modal jabatan atau sedikit wewenang, birokrat dan pejabat bisa dengan mudah mendapatkan milyaran rupiah dalam tempo singkat. Lihat saja bagaimana seorang PNS bergolongan III A bisa menjadi makelar kasus dan meraup milyaran rupiah dengan begitu mudah. Akibatnya, setiap tahun tidak kurang dari 140 triliun uang pajak kita raib begitu saja.

Penghasilan dan kekayaan wakil rakyat pun bisa meningkat demikian cepat.  Padahal kinerja dan prestasi mereka belum bisa dikatakan pantas untuk mendapatkan lipatan kekayaan. Layakkah disebut ‘bekerja’ bila mayoritas produk kebijakan yang mereka hasilkan tidak berbicara soal kesejahteraan rakyat?. Padahal sangat besar kekuasaan mereka dalam sistem politik sekarang. Anggaran Rp 1,8 triliun untuk membangun gedung baru, misalnya, bisa dengan mudah mereka dapatkan di tengah kondisi rakyat yang kelaparan.

Kalaupun  tidak bisa disebut korupsi, fenomen peningkatan kekayaan pejabat  dan wakil rakyat tanpa didasari oleh peningkatan kinerja dalam memberi nilai tambah pada kesejahteraan rakyat sama artinya dengan ‘tidur pun kami digaji’. Sebab apa yang diklaim sebagai ‘bekerja’ tak lebih dari siasat untuk meningkatkan penghasilan  bagi diri sendiri, keluarga, kelompok atau pun partai. Padahal pekerjaan utama mereka sebagai pejabat publik adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat.  

Demikian pula dengan para konglomerat, tidak terlepas dari fenomen ‘tidur pun kami digaji’. Mereka bisa meraup keuntungan berlipat dan bahkan menjadi orang terkaya, padahal kewajiban pajaknya bermasalah, upah buruhnya tak cukup untuk hidup, buminya dirusak, isinya dikeruk dan orang-orang terancam kehilangan hak hidupnya. Pantaskah konglomerat semacam ini mendapatkan keuntungan berlipat ketika yang mereka sebut ‘bekerja’ itu nyatanya tidak memberi nilai tambah pada kesejahteraan buruh, kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan daya dukung lingkungan?. Betapa mudahnya kita menyerap iklan ‘biarlah uang bekerja untuk kita’, tanpa menyadari bahwa dengan cara seperti itu kita telah menghidupi sistem ‘tidur pun kami digaji’.

Rapuhnya Generasi
Fenomen ‘tidur pun kami digaji’ tidaklah muncul secara kebetulan dari  tindakan orang per orang. Fenomen itu berakar pada sistem ekonomi politik kita yang tidak berorientasi pada kepentingan jangka panjang.  Betapapun pemerintah menjadikan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas, namun toh kebijakan pemerintah lebih banyak mengarah pada stabilisasi ekonomi makro, inflasi, nilai tukar, indeks harga saham, dan liberalisasi ekonomi, yang tidak berdampak signifikan pada pengembangan sektor riil, pengurangan pengangguran dan jumlah orang miskin. Yang terjadi, sistem ekonomi politik yang dijalankan pemerintah menciptakan dominasi kaum superkaya terhadap perekonomian Indonesia. Ini tercermin dari data penguasaan dana simpanan di bank. Dari sekitar Rp 1.380 triliun dana pihak ketiga di bank pada akhir Juli 2007, 80 persen dikuasai hanya oleh 1,82 persen pemegang rekening.

Sistem ekonomi politik kita pada kenyataannya dijiwai oleh semangat ‘tidur pun kami dibayar’. Kalangan atas diberi kemudahan dengan berbagai kebijakan, kelompok bawah ditenangkan dengan berbagai bantuan. Kondisi seperti ini saya kira tidak hanya akan berdampak pada kian lebarnya kesenjangan sosial tetapi lebih jauh lagi juga akan membentuk karakter anak-anak kita. Sebab sistem semacam itu akan  menjauhkan anak-anak kita dari semangat kerja keras, kreativitas, percaya diri dan daya juang dalam menanggapi tantangan.

Pernahkah kita bertanya soal tingginya kasus bunuh diri di kalangan remaja dan anak-anak, yang menggambarkan kerapuhan generasi sekarang dalam menghadapi tantangan? Lihatlah betapa mudahnya mereka memutuskan bunuh diri ketika gagal ujian nasional. Kita patut curiga, sistem ‘tidur pun kami digaji’ yang kita hidupi selama ini telah melahirkan generasi rentan dan miskin daya juang. 

Selasa, 21 Februari 2012

Kamu Tak Lebih Dari Debu

Sekarang ini anda mungkin melihat orang-orang dalam bus atau angkutan Kota, Kereta atau sedang menunggu di sebelah mesin fotocopy dengan tanda hitam di dahi mereka. Seperti melihat seseorang yang bermeditasi di terminal bandara atau ruang tunggu, anda mengenali mereka sebagai teman seperjalanan dalam perjalanan rohani, bukan hanya sekedar orang asing yang lewat di malam hari. Tanda tersebut bukanlah suatu tanda rahasia atau tanda kelompok khusus tetapi hanya sedikit saja orang yang memahaminya.
 
Kita menerima abu untuk mengingatkan kita supaya tidak membuang-buang waktu. “Ingatlah, engkau hanyalah debu dan akan kembali menjadi debu. Bertobatlah dan percayalah pada Injil.”
 
Kedengarannya memang aneh, kata-kata yang diucapkan saat abu diberikan tersebut memberi rasa lega dan harapan karena kata-kata tersebut mengingatkan kita akan suatu kebenaran yang begitu mudah dilupakan, kebenaran yang tidak enak untuk didengar oleh budaya penyangkalan kita. Kita banyak menelan gambaran kematian dan kekerasan sebagai hiburan tetapi hal yang nyata kita singkirkan seperti sampah. 
 
Tradisi spiritual mengajarkan kita bahwa kewaspadaan akan kematian meningkatkan kejelasan perbedaan hidup dan kemampuan kita untuk menghidupinya secara penuh. Debu di dahi mengingatkan kita bahwa satu-satunya jalan untuk hidup sebenarnya adalah hidup pada saat kini. Tidak ada waktu sementara, masa lampau dan masa akan datang, yang hilang atau disia-siakan saat kita mengalaminya di masa sekarang.
 
Bertepatan dengan dimulainya masa Prapaskah pada hari ini, inilah kesempatan – untuk berkomitmen kembali dan memperbaharui diri kita sebagai makhluk spiritual dalam perjalanan manusia. Jika anda tidak dapat mendapat abu, buatlah tanda salib di dahi anda sendiri atau mintalah teman untuk melakukannya, ulangilah kata-kata yang  dirancang untuk membangkitkan kita. Jika anda bermeditasi, perbaharuilah komitmen anda pada periode hening dan diam pada pagi dan petang hari. Jika anda mulai dan berhenti, mulailah lagi. Jika anda belum memulainya, jangan buang-buang waktu.
 
Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6: 16-18)

Minggu, 12 Februari 2012

Pencarian Sebuah Identitas

SEORANG lelaki muda melenggang turun dari tangga-berjalan di Plaza Senayan, lalu melangkah menuju atrium. Tangannya menenteng satu buket kembang mawar yang menyembul dari kain dan kertas kaca pembalutnya. Tampaknya ia baru saja membeli bunga dari sebuah toko di lantai dua. Mungkin lelaki itu berbelanja bunga untuk seseorang yang memiliki relasi tertentu dengannya. 

Bisa juga ia belanja bunga untuk dirinya sendiri. Tapi kejadian seorang lelaki muda berbelanja bunga di sebuah plasa, jelas bukan kebiasaan umum pada masyarakat kebanyakan di negeri ini. Bunga, lelaki muda dan Plaza Senayan. Tiga hal yang jika terangkai dalam satu peristiwa, yang ditangkap adalah bahwa itu kebiasaan kalangan tertentu.

Dalam penggalan jangka waktu, keberadaan plaza sebagai tempat perbelanjaan modern, menghasilkan pola perilaku baru pada masyarakat yang berelasi dengannya. Tapi pola perilaku semacam apa yang berkembang?

Plaza Senayan memiliki keunikan dibandingkan Pusat perbelanjaan modern lain di Jakarta. Plaza Senayan, selain juga Plaza Indonesia, mewakili tempat belanja kelas atas di Jakarta. Plaza ini begitu kuat menampilkan diri dengan image internasionalnya. Bagaimana tidak, berbagai gerai memajang produk mulai dari busana, perhiasan berlian, salon, makanan sampai hiburan bermerek dunia. Tidak begitu susah untuk memperoleh barang dengan label Bvlgari, Prada, Louis Vuitton, Bally, Aigner atau Gucci di sana. Dua deptartement store dan supermarket kenamaan dari Jepang (Sogo) dan dari Singapura (Metro) juga hadir melengkapi atsmosfir global yang dibangun di tempat ini. 

Dalam website resmi Central America Flights menyebutkan bahwa Plaza Senayan diperuntukkan bagi yang menginginkan pengalaman belanja yang berkelas dengan kelebihan lokasi yang berada di jantung distrik keuangan ibu kota dan di tengah kawasan perkantoran.
Untuk membangun citra pusat belanja yang bergengsi, Plaza Senayan tidak hanya menawarkan kenyamanan tempat belanja yang menampilkan keanggunan lantai marmer, sebuah atrium yang gagah, tata cahaya yang sempurna dan juga keleluasaan ruangan yang makin mahal di Jakarta ini, tapi plaza ini juga mampu menentukan siapa yang akan berkunjung. Dengan lebih memperbanyak menawarkan kebutuhan kelas atas , dengan sendirinya masyarakat yang berkunjung akan sesuai dan tepat seperti yang diinginkan, yaitu ujung dari masyarakat borjuis kelas atas.

Sebuah tas kulit wanita ukuran sedang produk Bally dengan label Black Lamb Nappa Plain seharga Rp 9.990.000 akan lebih mudah ditemukan di Plaza Senayan dibandingkan di plaza atau mall lain. Jika seseorang ingin mencari sebuah dompet kulit produk Louis Vuitton seharga Rp 4.000.000, ia akan lebih suka memilih pergi ke tempat ini dibandingakan tempat lainnya. Plaza Senayan sudah seperti Pasar Baru pada jaman Hindia Belanda, elit dan untuk kalangan tertentu.

Sebuah situs yang khusus membantu kalangan ekspatriat yang berencana tinggal di Indonesia yang juga merekomendasikan Plaza Senayan sebagai tempat belanja, menyebutkan orang-orang kelas menengah ke atas Indonesia, kesadaran akan merek internasional kuat. Maka kalau di Plaza Senayan menyediakan setidaknya 50 lebih gerai yang menjual pakaian dan perlengkapannya dari Milan, London, Paris, New York adalah bukanlah suatu ketidak-sengajaan.

Tidak heran tempat ini sering disebut-sebut sebagai wilayah edar selebritis dan pejabat. Hadi Poernomo, direktur jenderal Pajak, mengaku memilih Plaza Senayan sebagai tempat favoritnya untuk jalan-jalan, makan, serta mengantar istri dan anaknya belanja . Inet, seorang pengarah program promosi pariwisata Jakarta di luar negeri, saat ditanya apa yang dilakukannya saat jenuh bekerja, ia menjawab akan menghabiskan sekitar Rp 20.000 – Rp 30.000 untuk main game di Plaza Senayan . Bintang film, sinetron dan iklan Okan Kornelius Tjewn, memilih Plaza Senayan sebagai tempat nongkrong pilihannya .

Sisi lain Plaza Senayan berikutnya adalah munculnya sederetan nama-nama café yang tidak hanya menjual secangkir kopi untuk diminum saja. Sebut saja Starbucks, Coffee Club, Coffee Bean & Tea Leaf dan nama lain yang menjual suasana ringan, tenang dan santai sambil menyediakan secangkir kopi, musik dan akses internet nir-kabel. 

Konsep ini mengadopsi tradisi intelektual Perancis yang gemar minum kopi sambil ngobrol ditepi-tepi jalan . Maka anak-anak muda kelas menengah Jakarta, lalu gemar datang ke café-café ini untuk sekedar ngobrol, diskusi, membaca bahkan mengerjakan pekerjaan kantor. Banyak orang memilih duduk-duduk di café seusai pulang kerja sambil menunggu kemacetan lalu lintas usai. Fenomena orang menyeruput kopi sambil menghadapi komputer mini merebak di café-café Plaza Senayan. Tempat-tempat minum yang nyaman seperti ini juga sering menyeret pengunjung yang tadinya hanya ingin belanja saja, tiba-tiba memutuskan mengistirahatkan kaki sambil menikmati aneka pilihan kopi dari berbagai belahan dunia sembari membaca Koran di sana. Plaza Senayan seperti satu simbol modernitas kota dan trend gaya hidup kosmopolitan.

Tampaknya pusat perbelanjaan yang berada di Jalan Asia Afrika ini, sudah menjadi semacam kekuasaan. Seperti gagasan Foucault, kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual kebenaran yang khas . Dikatakan kekuasaan karena Plaza Senayan memiliki kekuatan yang mampu menggerakkan seseorang untuk datang, menikmati dan membeli. Seluruh simbol-simbol mewah yang diusung oleh plaza yang dibangun dengan dana 70% dari Jepang ini adalah sebuah daya tarik yang berkekuatan.

Dengan seluruh daya tariknya, Plaza Senayan berhasil dalam membangun pengetahuan atau konsep baru mengenai gaya hidup ‘yang berbeda’ dari ‘yang lain’. Plaza Senayan seolah ingin berkata, pakailah produk ini, lalu kamu akan berbeda dari yang lainnya. Lalu sinyal demikian ditangkap dan direspon publik. Terbukti kemudian dengan munculnya kecenderungan fanatik pada merek-merek tertentu. Ungkapan-ungkapan macam ‘ini gue banget’ atau ‘gue kan tau barang’ adalah peneguh dari semua itu. Sampai disini kekuasaan telah melahirkan pengetahuan.

Kekuasaan ini juga telah mengklasifikasikan sebagian masyarakat yang telah mengidentitaskan dirinya berdasarkan apa yang ia peroleh dari plaza ini. Begitu kita berada di dalam Plasa Senayan saja, kita seolah-olah merasa terpisah dengan dunia di luar. Melalui simbol-simbol berupa merek dagang kelas dunia dan tawaran kebiasaan hidup dengan kesan mahal dan berselera tinggi, mampu membuat seseorang merasa berbeda.

Eric Fromm dalam bukunya yang berjudul To Have Or to Be, mengelompokkan motif hidup manusia menjadi dua . Jenis pertama adalah orang dengan motif to have (memiliki). Orang dalam jenis ini, akan merasa dirinya berharga saat merasa memiliki sesuatu (harta, pengetahuan, jabatan, kecantikan dan lainnya). Jika ia tidak memiliki apapun, ia merasa dirinya tidak berharga. 

Harga dirinya ditentukan dari apa yang ia miliki. Harga diri menjadi tergantung pada sesuatu di luar dirinya. Jenis kedua adalah orang dengan motif to be (menjadi). Orang jenis ini merasa tanpa memiliki sesuatupun, dirinya sudah berharga dengan sendirinya. Orang seperti ini lebih memiliki kemerdekaan dan otoritas pada dirinya. Tampaknya apa yang disodorkan oleh Plaza Senayan akan lebih mendorong individu yang berinteraksi dengannya, kearah motif yang pertama. Plaza Senayan melalui bisikannya akan terus mencoba menggeser pertimbangan pembelanja dari fungsional ke prestis. Rasanya tepat sekali ungkapan Lauren Bain , plaza seperti ini pada dasarnya, adalah sebuah tempat yang dikuasai bukan oleh negara, melainkan oleh dolar dan keinginan para pembelanja akan komoditas terbaru.

Namanya Bu Inah


BU INAH. Perempuan asal Yogja. Usia 45 tahun. Umur 14 tahun ia menikah dengan lelaki asal Pati, Jawa Tengah di Jakarta. Sejak itu, mereka tinggal di ibukota yang riuh rendah itu. Suaminya bekerja sebagai sopir bajaj. Ia sering mangkal di pasar PSPT Tebet Timur Jakarta dari jam enam pagi sampai jam dua siang. Pendapatannya sebagai sopir bajajkian hari kian tak menjanjikan karena kalah dengan jasa ojek yang sudah merebak ke mana-mana. Orang kini lebih memilih ojek ketimbang bajaj karena lebih cepat dan sedikit lebih murah.

Kalau sedang ramai, ia memperoleh penghasilan antara Rp40.000 sampai Rp50.000 per hari. Uang itu ia pakai untuk bayar setoran Rp20.000. Sisanya baru dibawa pulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau sedang sepi, penghasilannya hanya cukup untuk bayar setoran. Sebenarnya ia ingin menarik bajaj sampai larut malam untuk tambahan nafkah, tapi tubuhnya sudah menua dan kesehatannya makin buruk. Sekarang ia sering sakit batuk.


Untuk membantu ekonomi keluarga Bu Inah bekerja membersihkan kantor kami dari jam sembilan pagi sampai jam 11 siang. Untuk memperoleh Rp250.000 per bulan, tiap pagi ia bekerja menyapu, mengepel, melap perabot, mencuci piring dan gelas serta menggosok kamar mandi. Tiap pagi ia berangkat kerja dengan berjalan kaki dari rumahnya ke kantor kami.

Sapaan “Assalamualaikum”  setiap pukul sembilan pagi makin akrab di telinga kami. Sebentar kemudian, seraut wajah perempuan setengah baya muncul dari balik pintu depan kantor kami. Meskipun belum ada satu bulan ia bekerja di kantor kami, kami mulai hafal dengan nada sapaannya. Sekedar sopan santun, kutanyakan di mana ia tinggal saat ini. Suaranya datar, jadi pemula kehadirannya dan kebiasaannya yang membuat kami tahu, ia akan segera memulai pekerjaannya. Tak kupedulikan benar apa jawabannya atas pertanyaanku. Namun, aku rasakan dari tanggapannya, di balik wajahnya yang pendiam tersimpan keramahan dan kerendahan hati yang kuat. Sambil mengayuhkan gagang sapu, ia menuturkan banyak hal dengan lugas. Tak ada kesan sama sekali, ia minta dikasihani.
“KONTRAKAN kami tidak bagus. Sering banjir, bahkan pernah kami sekeluarga tidak tidur semalaman karena banjir tahun ini. Kalau banjir kami harus nawu agar cepat kering,” kata Bu Inah. Ia tinggal di lingkungan kumuh, padat penduduk, di pinggir rel kereta api di kawasan Tebet Timur. Perempuan warga kampung itu kebanyakan bekerja sebagai pembantu, dan laki-laki jadi tukang ojek, sopir taksi, buruh bangunan, dll.

Begitulah nasib warga miskin di Jakarta. Tinggal di sebuah tempat yang jauh dari layak. Meskipun sering tidak tenang karena dihantui banjir, Bu Inah tak bisa berbuat apa-apa. Ia dan keluarganya hanya mampu mengontrak rumah petak seharga Rp120.000 per bulan. Kontrakan itu berupa satu kamar ukuran 3×4 meter persegi yang ia gunakan untuk tidur sekaligus tempat memasak dan makan. Tiap pagi Bu Inah dan keluarga harus antri mandi gantian dengan 30 keluarga lainnya. Pemilik kontrakan hanya menyediakan dua kamar mandi dan sebuah sumur berupa pompa dragon untuk kebutuhan air 30 keluarga sekaligus. “Kalau mau yang tidak banjir, ya harus sewa yang lebih mahal seharga Rp250.000.”

Saat ini Bu Inah dan suami serta empat anaknya tinggal di tempat tersebut bersama-sama. Anak pertamanya sudah menikah dan tinggal dengan suaminya di rumah petak sejenis di dekatnya. Anak kedua bekerja di sebuah salon, anak ketiga bekerja sebagai pramuniaga di sebuah mal, anak keempat masih duduk dibangku SMP, dan anak terakhir masih duduk dibangku SD. Ia juga sudah lupa kapan terakhir ia pulang ke daerah asalnya. Selain karena ia dan anak-anaknya tinggal di Jakarta, masalah ongkos transpor menjadi pertimbangan untuk tidak pulang ke daerah asal. Untuk kebutuhan sehari-hari ia biasanya memerlukan Rp30.000 untuk makan, kebutuhan rumah tangga, transportasi, sumbangan orang hajatan, dll. Pada musim orang ramai hajatan, ia bisa mengeluarkan sumbangan sampai empat kali sebulan.

Meskipun keluarganya memiliki KTP Jakarta, keluarga Ibu Inah tidak menerima bantuan dari pemerintah baik berupa beras untuk rakyat miskin maupun bantuan kompensasi BBM. Begitu juga 30 keluarga lain yang tinggal di lingkungannya, tak ada satu pun yang menerima bantuan. Mereka kebanyakan berasal dari Tegal dan Inderamayu dan sudah memiliki KTP Jakarta.

DENGAN segala keterbatasan itu, Ibu Inah terus melangkah dalam kehidupan ibu kota ini. Tangannya tak berhenti mengayuh sapu dan kain lap. Bu Inah selalu tersenyum setiap akan pamit seusai bekerja. Senyum dan wajahnya yang berkeringat adalah pertanda rasa ikhlas atas jerih payahnya dalam menciptakan suasana bersih di kantor kami. Dan mungkin dengan senyum tulusnya itu pula selama tiga puluh tahun ia arungi rimba Jakarta yang makin beringas ini.***

Kamis, 09 Februari 2012

Anak Jalanan Kisah Pilu Yang Berkelanjutan

Anak-anak Jalanan. Banyak dari mereka yang terbuang, atau barangkali sengaja dibuang. Sebabnya ada banyak, misalnya beban hidup orang tuanya yang menghimpit perih, kelahirannya yang “tak diinginkan”, bisa juga karena kekacauan hubungan ibu bapaknya yang setiap waktu memekakkan telinga, hingga mereka pun memilih pergi dan tak pernah ingin kembali, dsb.

Anak-anak itulah yang kemudian berserak di sana sini tak terurus dan tak kita urus. Dari satu satu pintu ke pintu lain, mereka bergerak mengharapkan iba. Telapak tangannya yang terbuka dan penuh debu itu meminta “roti” demi menyambung nafasnya.

Berpencaran pula mereka di setiap simpang jalan untuk menarik belas kasih dari para pengendara. Tak sedikit dari mereka yang kemudian mengais sisa makanan di tempat-tempat sampah. Pada panjang trotoar tempat mereka berebah, atau pada lantai basah emperan pertokoan tempat mereka pejamkan mata, mereka yang masih belum beruntung pun menekuk lututnya hingga nyaris rapat dengan dadanya –sekedar untuk menahan rasa laparnya yang sangat dalam di dinginnya malam.

Adakah yang demikian tersebut masih terdapatkan sampai hari ini? Potret sosial di depan mata kita tampaknya belum menyatakan usai. Masih amat banyak dari mereka yang berhambur di jalanan, kolong-kolong jembatan,  emper-emper pertokoan, bahkan di sekitaran atau tak jauh dari pusat-pusat kekuasaan di negeri ini, dari atas hingga bawah.

Ahai negeriku, di atas tanahmu yang subur makmur ini, rupanya masih bisa membiarkan ribuan "anak kandung"nya sendiri terlantar di jalanannya, kisah pilunya malah cenderung berepisode?

 Kisah Pilu Yang Berkelanjutan

Kecenderungan bertambahnya angka keterlantaran anak jalanan, menjadi  Kisah Pilu Yang Berkelanjutan, juga disuburkan oleh kekurangpedulian kita serta tata kelola negeri atas sumberdaya alamnya yang belum mampu menjamin penghidupan warganya.

Cobalah kita lihat, betapa tanah negeri sesungguhnya telah berpuluh-puluh tahun dibiarkan jatuh ke tangan asing dengan hanya sepotong “kue kecil” darinya yang bisa kita nikmati. Dari secuil “kue kecil” ini pun sebenarnya tak banyak dari warganya yang bisa turut merasakan lezatnya.

Lalu ada laut.  Bebetangan lautan kita yang begitu luas dan kaya. Adakah darinya telah dapat kita sanggupkan untuk  menahan periuk warganya agar tak keseringan goyang, bahkan kosong? Tetap saja ribuan “anak sampah” yang “berebut sisa dengan cacing dan burung” itu, demikian Ebiet pernah melirikkannya, masih menjadi potret yang memilukan hati serta membuat mata kita tak henti berkaca-kaca –satu potret yang sungguh amat kontradiktif.

Hal lainnya lagi, bersekolah dengan biaya tinggi misalnya, yang tak seimbang dengan tingkat pendapatan para orang tua. Bukankah hal ini dapat juga menjadi pengintai sekaligus "sarana" bagi semakin berseraknya  "anak sampah" di negeri ini?

Gratis untuk sekolah paket sembilan tahun, tampaknya pun masih setengah hati (pada tahap implementasinya). Kekurangan biaya untuk kelengkapan sarana belajar mengajar, maupun dukungan untuk peningkatan kualitas, merupakan satu dua alasan sebagai argumentasi pihak sekolah untuk menarik sumbangan “sukarela” dari para orang tua wali murid.

Nilai dari sumbangan “sukarela” yang ditarik oleh pihak sekolah, tidaklah murah dan memberatkan orang tua warga yang masih dalam himpitan kekurangan. Apa yang kemudian bakal terjadi dengan “kemauan baik” sekolah seperti ini? Adalah semakin banyaknya anak putus sekolah di tingkat dasar atau menengah, untuk kemudian bila tak menemukan media yang tepat (dalam tanda kutip keberuntungan), mereka pun bergabung bersama saudara-saudaranya yang lain di jalanan. Kisah Piluh ini akan berkelanjutan, siapa peduli.



Rabu, 08 Februari 2012

Sri dan Bayinya Bingung Mau Tinggal di Mana

Hari mulai beranjak sore, sinar matahari tak lagi menyengat seperti siang tadi. Meski demikian, Sri Rahayu dan bayinya yang berumur 24 hari tetap merasakan getirnya nasib kaum miskin dan terpinggirkan dari kehidupan di Ibu Kota.

Kondisi tempat tinggal Sri Rahayu bersama anak keempatnya, Muhammad Nurul Anam di kolong jembatan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (8/2/2012)
Sudah dua hari Sri (30) dan suaminya Ali Mustofa (45) tinggal di kolong jembatan fly over Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur. Mereka adalah salah satu keluarga yang menjadi korban penggusuran aparat Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta, polisi, dan TNI di simpang empat Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani, Rawamangun, Senin (6/2/2012).

Kepada Kompas.com, Sri menceritakan kondisi Muhammad Nurul Anam, anak keempatnya yang belum lama lahir. Sejak kemarin, Anam mengalami muntah-muntah. "Sekarang masih muntah-muntah. Pagi, siang, sama sore makan pisang, habis makan menyusui," ujar Sri, Rabu (8/2/2012).

Kondisi tempat tinggal keluarga tersebut pun masih sama seperti kemarin. Mereka terpaksa tidur dengan hanya beralaskan tikar dilapis dan tumpukan selimut hingga tebal. Adapun triplek berukuran 1 x 2 meter diposisikan berdiri untuk menepis debu dan angin Ibu Kota. Kelambu cokelat kusam pun dijadikan penutup untuk melindungi si jabang bayi.

Sri mengatakan, suaminya yang berprofesi sebagai seorang pemulung tidak mampu memenuhi kebutuhan meraka sehari-hari, bahkan untuk makan sekalipun. Seperti hari ini, suaminya berangkat mengumpulkan barang bekas sejak pukul 08. 00 WIB dan pulang sekitar pukul 17.00 WIB. Seharian ia bekerja, belum sepeser pun uang ia dapatkan. "Tadi kerja tapi belum dapat uang, soalnya belum ada yang nampung rongsoknya. Belum dibayar, dibayarnya paling dua hari sekali," ujarnya.

Sampai sekarang Sri masih bingung karena keluarganya belum mendapatkan tempat tinggal baru. Cerita hidup yang dialaminya berbeda dari tetangganya sesama korban gusuran, banyak di antara mereka telah mendapatkan hunian baru. "Paling tinggal di sini sementara dululah," kata Sri lirih.

Dalam kondisi kekurangan, Sri berkeras diri untuk tidak berutang kepada tetangga atau kerabat. Bukan karena gengsi atau malu, melainkan karena takut tak dapat melunasi pinjaman. "Enggak berani ah," kata wanita asal Pemalang, Jawa Tengah, itu.

Berdasarkan pantauan Kompas.com, masih ada beberapa keluarga yang menempati kolong jembatan fly over Pemuda arah Cempaka Putih menuju Cililitan. Aktivitas warga yang sebagian besar merupakan pemulung tersebut menjadi pemandangan kumuh bagi para pengendara kendaraan yang melintas. Sri dan kawan-kawan senasibnya tak tahu kapan bisa terbebas dari lingkaran kemiskinan. Meski mereka bekerja keras banting tulang mencari sepiring nasi, tetap saja mereka tak bisa lepas dari tudingan malas.

Para pemulung terpaksa mengungsi setelah 700 petugas Satpol PP beserta personel TNI dan Polri membongkar 200 bangunan dalam areal tanah seluas 8.511 meter persegi di simpang empat Jalan Pemuda dan Jalan Ahmad Yani. Sebagai pemilik sah lahan tersebut, pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan warga menempati lahan yang akan dijadikan kantor Sub Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Jakarta Timur.

Sumber Kompas.com

Perjuangan Warga Miskin

MENYAKSIKAN penayangan sebuah stasiun televisi swasta, Rabu pekan silam, hati ini serasa diiris. Potret kemiskinan dari satu keluarga di pinggiran kota Garut Jawa Barat itu disuguhkan cukup memprihatinkan sehingga sang ayah yang tidak punya pekerjaan tetap itu harus bekerja keras untuk mempertahankan kehidupan keluarganya.

Dua anaknya yang masih duduk di bangku SLTP bingung karena uang beli buku di sekolah sebesar Rp 80.000 belum terbayarkan kedua orang tuanya. Dari hasil mencari kura-kura di sungai Cimanuk, ayahnya baru berhasil menyisihkan Rp 15.000 yang artinya masih kurang Rp 65.000 lagi.

Sang ayah tidak berhenti. Dia terus memutar otak untuk bisa membayar utang buku anaknya di sekolah sebesar Rp 80.000 tadi. Jika siang mencari kura-kura di sungai, malam hari mencari kodok atau ular di semak-semak, yang penting bisa dijadikan uang.

Ini adalah potret kemiskinan sebagian rakyat Indonesia yang berada di pinggiran kota, walau sebenarnya lokasinya tidak begitu jauh dari ibukota Jakarta. Dan potret kemiskinan ini bisa jadi mewakili puluhan juta rakyat Indonesia miskin lainnya.

Hanya untuk membayar utang buku senilai Rp 80.000 saja, warga negara yang ikut serta menjadikan para wakil rakyat duduk di kursi empuk di Senayan sana, harus banting tulang. Mengumpulkan uang senilai Rp 80.000, susahnya setengah mati bagi masyarakat miskin ini.

Bandingkan dengan para petinggi Indonesia yang bermukim di kota-kota besar seperti Jakarta. Sebutlah misalnya pemborosan yang terjadi di gedung DPR dari mulai merenovasi WC, lapangan parkir sepeda motor, ruang rapat Badan Anggaran serta pengadaan tissu dan wewangian ruangan, nilainya sangat signifikan, menelan biaya puluhan miliar rupiah. Paradox.

Bisa kita bayangkan, betapa mirisnya hati sang ayah miskin ini, jika dia tahu kalau wakilnya di gedung DPR, hanya untuk memperbaiki WC saja harus mengeluarkan uang puluhan miliar rupiah. Demikian juga untuk membeli bahan pewangi ruangan, harus mengeluarkan biaya yang nilanya juga miliaran rupiah.

Sementara itu, untuk beli buku anaknya saja dan nilainya hanya Rp 80.000, dia tidak mampu. Kendati sudah diusahakan melalui pencarian kura-kura dan kodok serta ular, pekerjaan itu tidak mampu mengumpukan uang Rp 80.000.

Bandingkan pula dengan aksi para koruptor yang dengan gampang membantah dirinya tidak terlibat padahal sudah bergelimang uang rakyat, termasuk uang yang seharusnya menjadi haknya sang ayah miskin di Garut tersebut.

Pertanyaannya, masih bunyikah suara hati para koruptor dan para petinggi negeri ini yang dengan gampang menghambur-hamburkan uang rakyat dan tanpa ada rasa malu melenggang kangkung seperti orang tidak berdosa. Tidak berhenti sampai di situ, malah banyak di antara pelaku koruptor itu ingin tampil lagi menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini, lebih tinggi lagi dari jabatan yang dipangkunya saat ini.

Untuk menyembunyikan aksi koruptornya, tidak sedikit dari antara mereka yang mencoba membersihkan diri melalui perlawanan kata-kata, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh kelompoknya. Terlihat memang, para koruptor kelas kakap itu seolah kebal hukum. Sengat hukum tampaknya tidak mampu menyengat mereka.

Abdi hukum-pun seolah tidak berani menegakkan supremasi hukum kepada para koruptor itu. Namun kepada pencuri sendal, pencuri pisang, pencuri semangka dan pencuri kakao, gebrakan para penegak hukum teramat dahsyat.

Nah, adakah diantara penguasa negeri tercinta ini, khususnya para koruptor yang masih mau membayangkan penderitaan rakyatnya di ujung desa sana. Atau mereka sudah tidak peduli sebab sudah berkuasa lima tahun. Nanti saja kalau menjelang kampanye para calon pemimpin mengumbar janji-janjinya di hadapan rakyat-rakyat miskin.

Selasa, 07 Februari 2012

Fernandro Zega umur 8 tahun dengan Gegar Otak


Fernandro Zega umur 8 tahun. Beberapa waktu yang lalu mengalami jatuh dan tidak sadarkan diri. Dikatakan geger otak.  Sudah 3 minggu dirawat di RSU. Fernandro selalu menjerit sakit dan demam terus. Dia tidak memiliki surat miskin.

Fernandro Zega ditemani Ibunya
Ibunya hanya seorang janda miskin, dia tak mampu membeli obat. Ibunya minta tolong agar Fernandro bisa selamat. “Kami sudah bingung. Memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah. Saya benar-benar minta tolong suster. Kasihanilah anak saya ini. Uang tak ada sesen pun di tanganku.” demikian keluh ibunya.

Saya minta diajak menemui anaknya di RSU. Setiba saya di sana, benar saya melihat Fernandro terus mengeluh. Badannya terus di kompres karena demam yang tak kunjung turun.

Saya lalu berbicara dengan dokter HP. Dokter mengusulkan untuk diskrining di Medan karena sekarang ini tidak diketahui apa yang terjadi di kepalanya karena RSU tidak memiliki alat itu.  Saya bilang saya bersedia menolong anak ini. Hanya permasalahannya sekarang untuk bisa masuk pesawat, Fernandro harus dalam posisi duduk.  Kemudian dokter memberi saran, “Kalau begitu baiklah dirawat dulu di sini sambil dilatih untuk bisa duduk. Jika nanti sudah bisa duduk, kami akan beritahu suster. Saat itu suster bisa membawanya ke Medan untuk pemeriksaan selanjutnya.


“… segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40)

Bagi sahabat-sahabat yang terdorong untuk membantu meringankan penderitaan mereka yang kecil dan menderita karena sakit dan miskin, dapat menyalurkannya melalui rekening :
BCA KCU Matraman Jakarta No.: 3423 0833 32 a/n Andreas Gunawan qq Izanulo Duha (Suster Klara)
HP Suster Klara Duha Osf : 0813 6145 9779 ; Email : klara.duha@gmail.com

Minggu, 05 Februari 2012

ANBi “Goyang” FX Mall Jakarta


Dalam Launching Gerakan Voice From The East (VOTE)

Jakarta-Suasana  FX Mall Daerah Sudirman Jakarta tiba tiba berubah, Ratusan pengunjung dalam acara Launching Voice From The East (VOTE ) tak sangup menahan diri, tiba tiba berdiri bergoyang saat lagu lagu Khas Nusa Tenggara Timur didendangkan. Berdesak-desakan tak membuat membuat mereka mengurungkan niat untuk bergoyang khas NTT.

Boy Clemens Bersama Anak anak ANBi "Goyang" FX Mall dengan lagu lagu NTT
Anak NTT Bermusik (ANBi) saat itu benar benar menaburkan virus. Irama music NTT yang dimainkan menarik perhatian, hingga Pakar Komunikasi sekaligus aktifis social, Efendi Gosali, sekertaris Esekutif Komisi HAK KWI, Romo Benny Susetyo dan sejumlah aktifis LSM ikut bergoyang, berpegangan tangan, menari bersama dan berdesakan diantara ratusan pengunjung seolah tak ada perbedaan ras, suku, agama.  Malam itu musik NTT telah menendang jauh perbedaan yang selama ini merusak kebersamaan. Nampak raut wajah ratusan anak bangsa dalam ruangan itu nampak gembira menikmati musik NTT yang telah mempersatukan semua rasa. Boy Clemens Vocalis ANBi saat itu terpaksa harus berulang ulang menyanyikan lagu Lui E, agar ratusan orang ini bisa terus berdendang.

Awalnya ANBi hanya diberi kesempatan menyanyikan 3 buah lagu dalam waktu 15 menit. Namun ketika lagu Pertama “mari berpesta” baru saja dinyanyikan suasana berubah, pengunjung baik warga local maupun turis asing satu persatu berahan berdiri ikut menari bersama bersama para penari asal Ende Lio, mereka berdesakan mengkuti tarian ende lio hingga berdesak desakan. Waktu yang sebelumnya 15 menit menjadi 35 menit.

Selain warna musik malam itu ANBi juga menunjukan kekhassan busana NTT, Para penari Asal Ende Lio mengunakan busana Ende lio lengkap dengan alat musiknya, ada juga yang hanya mengenakan sarung Khas sabu, sarung khas Manggarai, selendang Nagekeo, sumba, Timor, Flores Timur melingkat di leher serta diikatkat pada kepala. Ratusan pasang mata tentu saja tertuju pada kekhasan ini.

Busana ANBi seolah mengkritik budaya gaya Hedonisme, “menampar” nurani pengunjung yang terjangkit virus metropolitan dan lupa akan tradisi budaya. Sekaligus ANBi juga mau menunjukan kearifan Budaya NTT dan  protes terhadap sikap bangsa ini akan kondisi kemiskinan di wilayah NTT.

Matahari Yang Memberi Harapan Telah Bersinar

Pengagas VOTE, Glenn Fredly mengatakan VOTE (Voice From the East) merupakan sebuah gerakan kampanye sosial untuk mengembalikan martabat kemanusiaan, perdamaian, kesejahteraan, pelestarian lingkungan, demokratisasi serta merawat keberagaman dan budaya di Indonesia Timur.

Anak anak ANBi memberi warna baru musik Indonesia
Laguna biru cerah hamparan, Lui E, Bolelebo, pasir putih, tarian lumbalumba di pesisir pantai, pekik burung camar dan kerimbunan nyiur melambai menaungi deretan rumah panggung di pulau-pulau di bagian timur Nusantara. Tabuhan tifa, totobuang, denting gitar dan nyanyian rakyat di kala bulan purnama adalah keseharian kehidupan rakyat Indonesia Timur. Keindahan alam dan persaudaraan sesama manusia adalah wajah asli Indonesia Timur.

Namun, tawa-ria dan kebahagiaan anak-anak dan remaja di Indonesia Timur di Papua, Maluku, Sulawesi
dan NTT kini berganti dengan tangis serta tanda tanya besar menanti masa depan mereka akibat kehancuran hutan, laut dan pertambangan yang turut membawa pemiskinan, pembodohan, wabah penyakit hingga merebaknya HIV-AIDS di kampung-kampung terpencil. Kerusakan diperparah dengan korupsi sistemik dan pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai sisi kehidupan. Relasi kekerabatan dan persaudaraan turut dirusak akibat kerusuhan sosial di Poso, Ambon dan Maluku Utara yang menjadi dagangan politik bagi segelintir orang. Operasi keamanan oleh aparat telah mengikis makna menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang diakui harkat dan martabatnya. Upaya pemulihan pasca-konflik dengan pendekatan keamanan memakan waktu yang lama dan menyisakan luka sosial dan trauma bagi masyarakat.

Romo Beni Susetyo mengatakan VOTE bertujuan membuka mata batin masyarakat Indonesia tentang kekerasan modal dan penguasa yang telah menghancurkan tatanan sosial dan hak masyarakat serta lingkungan untuk hidup dalam harmoni seperti sediakala ketika negeri ini diproklamasikan yakni mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Vote bermaksud membangun kesadaran masyarakat untuk mengetahui kondisi-kondisi nyata Indonesia Timur; dan meningkatkan solidaritas sosial untuk membantu Indonesia Timur dari keterpurukan serta eksploitasi alam yang berlebihan.

Kampanye ini didukung oleh kelompok seni seperti Slank, God Bless, Indra Lesmana, Seringai, Panji Pragiwaksono, Tompi, Sandy Sondoro, Jflow, EndahNRheza, The Extralarge, IYR, Matthew Sayersz, Ivan Nestorman, Endah ‘n Resha, Edo Kondologit, Ras Muhammad, Bobby ‘one way’, Franky sihombing, GMBc, The Paint Killers, Wizzow, Aldisyah, Aiko, Zee, Pallo, RockerKasarunk, Maliq n D’essenial, Boy Clemens, ANBi, Radhini, Barry Likumahuwa, Efek Rumah Kaca, Nicky Manuputy, Imel, Melanie Subono, Inspiring Signals, Alifa Feat. Raffi Feat Dima, 21st Night, Ron Kingston dan berkolaborasi dengan pegiat kemanusiaan dan lingkungan seperti ICW, Walhi, Kiara, Migrant Care, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Jatam, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, YLBHI, Imparsial, Elsam, Demos dan Foker LSM Papua.

Bahkan organisasi Internasional pun turut mendukung kampanye ini, seperti Amnesty Internasional, Greenpeace dan International Centre for Transitional Justice. Kampanye dilakukan dengan pendekatan budaya dan membangun partisipasi yang seluas-luasnya bagi siapapun, terutama bagi mereka ada di Indonesia Timur.

Eksploitasi Alam Lebih Buruk Dari Tanam Paksa Belanda

Eksploitasi alam di Indonesia Timur merupakan salah satu bentuk penjajahan modern yang lebih buruk dari praktik Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang “hanya” mengambil 20 persen hasil panen petani di Jawa untuk mengisi kas Kerajaan Belanda pada abad ke-19. Sebagai bukti, sebuah pertambangan emas di Papua yang menghasilkan minimal 300 kilogram emas setiap hari, hanya mengembalikan 1 persen atau 3 kilogram emas ke Republik Indonesia dan tentu lebih sedikit lagi yang kembali ke bumi Papua!Cerita-cerita kelam eksploitasi alam juga banyak terjadi di tempat-tempat lainnya.

Anak Belu, NTT putus sekolah kini jadi Buruh di pertambangan
Praktik pencemaran lingkungan di Teluk Buyat, mengakibatkan kerugian besar yang harus ditanggung negara dan warga Buyat. Gizi buruk yang diderita banyak warga NTT akibat tidak mampu mengonsumsi sumberdaya pangan yang baik, juga menjadi fakta sosial yang tidak pernah diketahui publik. Di sejumlah daerah pertambangan kini sudah mulai ditemukan anak-anak yang memiliki kulit bersisik sejak lahir. Di saat perusahaan tambang menutup usaha, masyarkat setempat harus hidup dengan kondisi lingkungan yang sudah hancur. Belum lagi penyakit sosial yang dibawa industri pertambangan dengan munculnya prostitusi, narkoba dan rumah tangga yang terbelah sebagai dampaknya.

Pertambangan telah menjadi magnet bagi masuknya jaringan prostitusi lintas daerah yang menambah panjang daftar penularan HIV-AIDS. Kasus Bima adalah contoh serius, ribuan warga yang hidup dari bertani bawang harus tiba-tiba terancam penghidupannya karena rencana penambangan emas. Penolakan rakyat tidak didengar penguasa yang dengan pengusaha. Aksi “kekerasan modal” yang merupakan kolaborasi penguasa dan pengusaha akhirnya disikapi dengan “kekerasan rakyat” yang tidak memiliki akses politik dan hanya memiliki darah, daging dan jiwa-raga untuk melawan. Kecenderungan kasus-kasus serupa ini terus bermunculan di Indonesia Timur mengingat minimnya akses masyarakat terhadap informasi dan keadilan.

Kehancuran Laut, Kehancuran Masa Depan
Masa depan Indonesia terdapat di laut yang merupakan 2/3 bagian dari wilayah Nusantara. Ironisnya, lautan Indonesia Timur yang indah lambat laun kini dihancurkan secara sistematis.Eksploitasi di laut dengan maraknya pencurian ikan, pembuangan tailing pertambangan hinggas pembukaan pangkalan perikanan asing yang merusak tatanan sosial serta merebaknya HIV-AIDS di masyarakat sekitar kawasan perikanan seperti di Tual, Maluku dan Merauke, Papua. Padahal sejatinya lautan di Indonesia Timur lebih dari cukup menjadi lumbung gizi dan protein. Alih-alih menjadi sumber protein dan gizi serta perekonomian yang melimpah dari penangkapan serta budidaya laut, warga Indonesia Timur seperti di Sulawesi Selatan, NTB dan NTT ramai-ramai menjadi buruh migran di Malaysia. Tangkapan ikan tuna yang melimpah dari lautan Indonesia Timur justru tidak berhasil mengangkat derajat hidup rakyat setempat.

Masyarakat Asli, Perempuan dan Anak Dikorbankan

Romo Beni Susetyo menegaskan dalam praktik pemerintahan yang korup dan bergandengan tangan dengan pengusaha hitam, otomatis perempuan dan anak di Indonesia Timur menjadi korban pertama ekspansi modal serta korupsi massal. Ketertinggalan pembangunan di Indonesia Timur menciptakan rawan pangan yang selalu terulang sehingga Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) di Indonesia Timur tercatat termasuk paling rendah di Indonesia. Sungguh memprihatinkan mengingat Indeks Pembangunan Indonesia pun sudah tergolong rendah di Asia Tenggara.


Perempuan Pulau Timor jadi Buruh tambang mangan di tanah leluhurnya
Penganiayaan adalah salah satu bentuk derita dari siksaan yang lebih parah yakni perdagangan manusia yang tak kunjung diperhatikan oleh negara. Gelombang demi gelombang buruh migran asal Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur “diekspor” ke negara tetangga. Siksaan fisik, perkosaan hingga dipaksa melacurkan diri menjadi lagu lama yang selalu terulang. Masyarakat adat sebagai payung pemersatu masyarakat

Indonesia Timur turut dihancurkan dalam serangan pemodal dan penguasa yang merusak keasrian bumi-manusia di ujung timur negeri ini. Walhasil masyarakat adat mengalami krisis identitas yang parah. Diskriminasi, penindasan dan kekerasan terutama atas budaya Melanesia dan identitas budaya Pasifik Selatan terus berlangsung. Padahal, masyarakat adat Pasifik Selatan di Fiji, Kepulauan Solomon, Samoa, Kaledonia Baru hingga Selandia Baru bisa mempertahankan identitas budaya dan hidup dalam kedamaian di tengah lingkungan alam yang asri. Belum lagi lunturnya kearifan tradisional terkait pengelolaan sumber daya perikanan, yang tidak hanya terbukti adaptif terhadap perubahan iklim, melainkan juga mengandung nilai-nilai pelestarian budaya, seperti Sasi di Pulau Haruku, Maluku; Bapongka di Sulawesi; Awig-awig di Nusa Tenggara Barat, Ola Nua di Lamalera, NTT.

Kepekaan dan solidaritas dibutuhkan untuk memulihkan rasa keadilan bermartabat bagi saudara-saudari kita di Indonesia Timur. Rangkaian cerita-cerita kelam ini harus disuarakan melalui sebuah gerakan kampanye bersama; di mana ekspresi kebudayaan melalui musik, tari dan bentuk kebudayaan lainnya digunakan untuk menyatukan ikatan sosial manusia-manusia Indonesia. Atas nama perdamaian dan persaudaraan sebangsa setanah air tanpa campur tangan elit politik dan konglomerasi hitam.Melalui Vote kami berharap bahwa semakin terbangun kesadaran masyarakat dan menciptakan gerakan publik untuk mengetahui kondisi nyata ketertinggalan Indonesia Timur; dan meningkatkan solidaritas sosial untuk mengangkat derajat hidup masyarakat Indonesia Timur seraya menjaga kelestarian lingkungannya. 

Jumat, 03 Februari 2012

Stop !! kekerasan Terhadap Perempuan


Perempuan kerap menjadi korban kekerasan yang terjadi di dalam juga di luar rumah. Kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, termasuk kekerasan dalam hubungan berpacaran. Ini adalah fakta yang terjadi di sekitar Anda. Lantas, apa yang Anda lakukan? Melakukan pengabaian seperti yang kerap terjadi, atau mulai peduli dan bergerak menghentikan kekerasan terhadap perempuan?

Yayasan PULIH bekerja sama dengan UN Women (United Nations Entity for Gender Equity and the Empowerment of Women), menggelar kampanye stop kekerasan terhadap perempuan. Kegiatan ini dipayungi kampanye global sekjen PBB, "UNiTE" untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung sejak 2008 hingga 2015. (kompas, 2/2012)

PULIH mengajak anak muda usia 16-24 untuk ambil bagian di gerakan sosial melalui Facebook dan Twitter dengan "gerakan5jari". Serta berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan offline, seperti workshop dan flash mob untuk mendukung kampanye melawan kekerasan terhadap perempuan.

Mengapa anak muda perlu peduli?

Kampanye yang menyasar anak muda ini menjadi penting dan strategis karena data kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat. Data 2010 di DKI Jakarta, terdapat 1.200 kasus kekerasan terhadap perempuan kategori kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada tahun yang sama tercatat, 1.299 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam masa hubungan pacaran.


Pada Januari-Maret 2011, tercatat 395 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sementara berdasarkan data Yayasan PULIH, pada tahun 2011 jumlah kasus kekerasan yang ditangani yayasan mencapai 150 kasus. Jumlah kasus ini meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2010 yang tercatat 116 kasus.

Kekerasan terjadi karena konstruksi sosial dan budaya, salah satunya pelaku kekerasan pernah mengalami kekerasan pada masa kecil. Kekerasan kemudian dipahami sebagai bentuk komunikasi dan sesuatu yang normative.

Kampanye stop kekerasan terhadap perempuan untuk kalangan muda bukan hanya menjadi cara memutus rantai kekerasan. Namun juga untuk meningkatkan kesadaran perempuan yang menjadi korban, memberdayakan dan menolong dirinya terbebas dari lingkaran kekerasan yang terus membelitnya.

Anak muda punya andil besar untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Karena seperti disebutkan sebelumnya, PULIH mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan pada 2011. Namun catatan pentingnya adalah dari kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut, pelaporan lebih banyak dari kasus kekerasan dalam pacaran.

Kekerasan tak hanya bicara fisik, namun juga psikis melalui verbal. Selain juga kekerasan ekonomi dan seksual. Bagaimana berhubungan dengan orang-orang di sekitar, tanpa melakukan semua bentuk kekerasan tersebut juga menjadi sasaran program untuk kalangan muda ini. Karena di tangan anak muda, rantai kekerasan terhadap perempuan ini dapat diputuskan, tak lagi berlanjut atau "dikonstruksikan" kembali ke generasi berikutnya.

Lebih penting lagi, perempuan yang kerap menjadi korban harus lebih percaya diri untuk menyelamatkan dan mencintai dirinya sendiri. 

Kamis, 02 Februari 2012

Menutup,Bisnis Prostitusi di JATIM?????


Diberitakan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur berniat menutup seluruh tempat pelacuran di wilayahnya. Alasannya tentu klise, untuk menghilangkan penyakit masyarakat. Pelacuran, atau transaksi hubungan seks dengan imbalan pembayaran, merupakan fenomena yang ada sejak ribuan tahun lalu dan nampaknya akan ada sampai kapan pun juga selama di dunia ini masih ada laki-laki. 

Para pelacur, atau Pekerja Seks Komersial,yang pada umumnya perempuan, dituduh sebagai yang bersalah. Sering pula mereka dianggap sebagai sampah masyarakat. Mereka dikutuk, dimarjinalkan, diperlakukan sebagai bukan warga negara yang sah.

Dalam dunia yang didominasi pendapat bahwa laki-lakilah yang menentukan segalanya, tumbuhnya pelacuran selalu dituduhkan bahwa perempuanlah penyebabnya. Bukankah kaum pekerja seks komersial itu yang memajang dirinya di etalase tempat pelacuran, merayu kaum laki-laki agar mau membeli layanan jasa seks? Tidak pernah ditanyakan, bukankah kaum laki-laki yang secara sengaja mencari layanan seks komersial?

Terkadang memerlukan untuk mengunjungi tempat pekerja seks itu berjualan, lalu memilih siapa yang akan dikencaninya. Terkadang dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, terutama mereka yang “mau menjaga nama baik”, memesannya dari hotel-hotel tempat mereka menginap. Kaum laki-lakilah yang secara aktif mencari layanan seks. Terjadilah prinsip ekonomi, supply and demand, ada permintaan maka ada penjual.
Bahkan tidak jarang terjadi bahwa seorang perempuan menjadi pekerja seks komersial akibat perbuatan laki-laki. Pertama, perempuan dianggap tidak perlu mendapat pendidikan yang cukup. Kalau keluarga ada uang, maka anak laki-laki yang diutamakan untuk sekolah. Akibatnya, ketika perempuan harus mencari nafkah, ia tidak mempunyai modal lain kecuali tenaga atau tubuhnya. Dia akan menjadi pembantu rumah tangga atau pekerja seks komersial. Tidak dapat mencari pekerjaan yang lebih tinggi karena tidak mempunyai pendidikan yang memadai. Kedua, tidak jarang laki-laki secara sengaja menyuruh isterinya untuk mencari uang dengan menjadi pekerja seks komersial.

Tetapi toh ketika mereka menjadi pekerja seks komersial, mereka dituduh sebagai penyakit masyarakat yang tidak dianggap sebagai manusia. Kalau menjadi korban kekerasan, keluhannya tidak akan dilayani secara serius karena dianggap sebagai risiko akibat dia mau menjadi “wanita tuna susila”. Perempuan tidak bermoral. Bahkan kaumnya sendiri ikut memusuhi mereka, terutama karena mereka dianggap sebagai pencuri cinta suaminya. Para pekerja seks komersial tidak akan dibela kalau dia diperkosa oleh laki-laki.

Mereka dianggap sebagai penyebar penyakit menular seksual, termasuk HIV, meskipun mereka terkena penyakit itu dari laki-laki pelanggannya. Laki-laki pelanggannya pun tidak akan menganggap pekerja seks komersial sebagai manusia yang mempunyai hak, dan akan menolak kalau mereka harus memakai kondom. Kecuali kalau laki-laki itu yang takut terkena penyakit menular seksual.

Kalau dia sudah mengidap penyakit sebelum mengencani pekerja seks komersial, dia tidak akan perduli apakah teman kencannya itu akan tertulari atau tidak. Maka ketika jumlah pengidap HIV di suatu daerah meningkat, yang pertama-tama disalahkan adalah pekerja seks komersial. Bukannya kemudian mereka diberikan layanan kesehatan, tetapi justru diusir dan digusur.