Masih segar dlm ingatan kita, awal September 2011 lalu Pemerintah canangkan moratorium penerimaan PNS untuk 16 bulan ke depan. Beban anggaran untuk belanja pegawai yang terlalu besar yakni hampir seperenam atau sepertujuh RAPBN 2012, jadi pangkal utama ditempuhnya kebijakan ini.
Sepasang PNS ditangkap Sat Pol PP di Maal, membolos |
Tragis lagi, 125 daerah memiliki beban belanja lebih dari 60 persen APBD-nya. Akibatnya, pembangunan infrastruktur jalan di tempat. Namun timbul pertanyaan, apa benar dengan dipotongnya anggaran untuk birokrasi yang jumlahnya 4,7 juta PNS, moratorium itu sendiri lantas memberi jalan mulusnya reformasi birokrasi.
Di banyak tempat, terbukti statitiska tak berjalan linear dengan etos dan prestasi kerja. Yang mengemuka, birokrasi kerap malfungsi dalam mengabdi masyarakat karena ia menjadi bagian dari mesin korupsi.
Birokrasi makin miskin kinerja, selain didera korupsi juga disandera fragmentasi para politisi. Netralitas pegawai negeri makin langka menjelang pilkada dan independensinya makin diragukan saat tunduk
dalam neopatrimonial pejabat daerah bersangkutan.
Neopatrimonial karena sejak itu terjadi balas budi untuk birokrasi pendukung kepala daerah dan sangsi mutasi bagi pihak yang kontra dengan pejabat berkuasa.
Pemerintah pusat sendiri memberi contoh yang mudah ditiru oleh pemerintahan di level bawah. Jumlah kementerian yang terlalu banyak, lalu komisi, lembaga atau satgas baru yang dibentuk mengindikasikan politik akomodasi lebih utama dibanding agenda reformasi birokrasi.
Permasalahan birokrasi yang rumit dan dipolitisasi ini sedikit banyak membuat proses rekrutmen, pembinaan dan karir pegawai negeri tak pernah sampai pada sebuah strategi besar reformasi birokrasi.
4,7 PNS sebenarnya jumlah yang sangat kecil untuk ukuran Indonesia, tapi bias jadi ini hanya statistika belaka, realitanya angka berbeda dengan etos kerja, korupsi membuat birokrasi malfungsi, jadikan aparat hanya mau bekerja demi materi, jadilah ekonomi biaya tinggi, dibalik pengurusan KTP, retribusi sampai rekanan dan politisi.
Sejak dulu kita dengar cerita pilu yang seolah baru tentang pagewai negeri yang mudah di tunggangi, kehilangan independen karena jabatannya takut digeser oleh politisi. Demokrasi dilengkapi oleh tragedi dengan agenda pemerintah pusatnya sendiri yang gemar obral lembaga baru Satgas atau meritokrasi. Seharusnya Pemerintah jadi rambu birokrasi supaya jangan lagi ada Tanya siapa pengapdi dan siapa sesunguhnya harus dilayani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar