Dalam kondisi tubuh yang kurang sehat, saya berkata kepada adik saya, bahwa saya sudah tidak sanggup lagi mendengar nama salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) yang selalu melakukan tindak kekerasan atas nama agama di mana-mana. Setiap mendengar nama organisasi ini, rahim saya melilit kesakitan dan lambung saya mual seperti ada tusukan yang memuncratkan energi negatif yang membuat saya limbung. Apalagi bila menyaksikan pelbagai keberingasan mereka di lapangan melalui televisi. Ekspresi mereka penuh dengan sorot mata kemarahan, kebencian, bahkan ketika mereka menyatroni rumah-rumah yang garis keislamannya tidak sehaluan dengan mereka, mereka meneriakkan kata-kata Allahu Akbar seraya melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan penghuni rumah dengan cara yang sangat beringas.
Ada banyak dugaan yang dilabelkan kepada ormas ini, misalnya mereka bisa bertahan sampai sekarang karena di belakangnya ada orang kuat yang melindungi mereka. Buat saya, dugaan itu tidak saya hiraukan, karena saya tidak dapat membuktikannya. Jika pun itu benar, itu juga bukan urusan saya.Yang saya hirau adalah mereka meneriakkan Allahu Akbar, sebuah lafaz yang mengagungkan nama Allah untuk menunjukkan kebesaran-Nya, tapi buat mereka lafaz tersebut digunakan untuk mengekspresikan perilaku barbar dengan merusak tempat-tempat tertentu dan rumah-rumah yang dianggap berbeda dengan mereka. Selain itu, atas nama membantu para aparat penegak hukum, dalam bulan-bulan suci, seperti bulan Ramadan, mereka merazia tempat-tempat yang mereka anggap maksiat sebagai wujud yang mereka sebut tindakan amar makruf nahi mungkar (berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Pertanyaan yang dapat diajukan, apakah diri mereka cukup ma’ruf atau suci sehingga mereka perlu mengajak orang lain dengan cara brutal? Dalam ajaran Islam, seorang yang benar-benar suci tidak akan pernah merasa dirinya suci sebagai wujud dari kerendahhatian bahwa yang suci itu hanyalah milik Allah, dan karena itu umat Islam dianjurkan untuk mengucapkan “Subhanallah”untuk menegaskan bahwa kesucian itu hanya milik-Nya semata. Bahkan Abu Ali al-Hasan ibnu Hani al-Hakami, seorang sufi besar dan penyair Islam termasyhur yang kesuciannya diakui oleh para wali (orang suci) dalam dunia tasawuf pada masa Harun al-Rasyid (786-809 H), membuat syair yang disenandungkan oleh Abu Nawas: Ilaahi lastu lilfirdausi ahla, wala aqwa alannaril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fainnaka ghafirudzdzanbil `adzim (Ya Allah, tidak layak hamba-Mu ini masuk ke dalam surga-Mu, tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu. Maka kami mohon tobat dan mohon ampun atas dosaku).
Dalam kaitan dengan ini, hal paling mungkin yang bisa dilakukan terhadap orang-orang yang mengabaikan ajaran Tuhan adalah mengajak mereka pada kebaikan, itu pun jika mereka mau. Jika mereka menolaknya, itu juga bergantung pada pilihan mereka dan kita tidak dapat memaksanya: faman sya`a fal yu`min waman sya`a falyakfur (S. Al Kahf, 29): barangsiapa yang hendak beriman, berimanlah; dan barangsiapa yang ingkar (kafir) juga diberi kebebasan. Demikian kata Al-Quran sebagai wujud kemerdekaan kepada umat manusia, karena merekalah yang akan menanggung untung dan ruginya.
Sepanjang ingatan saya, ormas ini muncul ketika Indonesia memasuki era reformasi (1998). Para preman berjubah ini, meminjam istilah Buya Syafii Maarif, tampak sering membantu aparat penegak hukum dalam merespons pelbagai kekacauan yang sering kali terjadi pada saat itu. Perkembangan lebih lanjut, mereka seperti percaya diri bertindak seolah-olah aparat penegak hukum.
Hal yang saya sayangkan juga, pasukan ormas ini menggunakan baju koko atau berjubah putih dan bersorban. Dalam tradisi NU, pakaian sejenis ini tidak sembarang orang yang memakainya. Hanya orang-orang yang mencerminkan kekokohan pengetahuan agama Islam dan etika yang baik serta menjadi panutan masyarakat yang biasa memakainya.
Dalam sejarah Islam di Indonesia, sejumlah pemuka agama yang menggunakan pakaian sejenis ini misalnya KH Hasyim Asy’arie, pendiri NU; KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; KH Agung Abdurrahman, pendiri Mathlaul Anwar di Banten, dan sejumlah ulama penerusnya-yang saat saya masih kecil–tampak penuh keagungan sebagai seorang ulama jika kita bersilaturahmi dengan mereka; mereka berbicara sangat pelan dan hati-hati. Petuah mereka adalah mutiara dan jauh dari mengumbar pernyataan-pernyataan yang membingungkan umat dan teriakan-teri akan yang membuat pendengarnya ketakutan.
Untuk soal pakaian sejenis ini, Buya Hamka dalam novelnya, Di Bawah Lindungan Ka’bah, melakukan desakralisasi terhadap pakaian jenis ini dengan melakukan pembaruan bahwa keagungan seseorang bukan dari pakaian, melainkan sejauh mana perilaku mereka dihiasi oleh akhlak yang baik dan kedalaman ilmu pengetahuannya. Karena itu, bagi Buya Hamka, seorang pemuka agama pun boleh memakai celana pantalon dan topi daripada memakai jubah dan sorban tapi perilakunya seperti preman dan bromocorah.
Mungkin kelompok ormas ini berniat memerangi kemaksiatan sesuai dengan ajaran Islam. Tetapi hal yang mesti diketahui oleh mereka adalah meskipun Indonesia ini mayoritas beragama Islam, tapi yang taat mengikuti ajarannya juga minoritas. Gus Dur pernah mengatakan kepada saya bahwa diperkirakan hanya 30 persen orang Islam yang taat mengikuti ajarannya. Selebihnya adalah orang-orang yang berislam secara keturunan alias Islam KTP; salatnya belang-belang untuk tidak mengatakan hanya dua kali dalam setahun, yakni salat Idul Fitri dan Idul Adha saja, tidak bisa baca Al-Quran dan tidak berpuasa, meskipun belakangan ini tampak ada gairah baru dari kalangan muslim perkotaan yang menjalankan ketaatan kepada agamanya. Tetapi hal itu tidak apa, sepanjang mereka tidak bertindak onar dan mengganggu ketenteraman terhadap orang lain. Lagi pula jangan berharap dunia ini bersih dari kemaksiatan di mana orang-orang di dalamnya berbuat baik seluruhnya. Justru kesempurnaan dunia ini adalah ketika kita menyaksikan manusiamanusia dan isinya dalam ketidaksempurnaannya.
Hal yang juga membuat saya sedih adalah tidak ada lagi ulama di negeri ini yang memiliki pengaruh atau wibawa untuk menghentikan tindakan keonaran mereka. Apakah karena para ulama tersebut mendukung gerakan yang mereka lakukan atau mereka sudah tidak peduli lagi pada akibat yang ditimbulkannya? Boleh jadi pula kelompok ormas ini juga sudah enggan mendengar wejangan para ulama yang saat ini agaknya tidak lagi menjadi tempat berlabuh umat, karena hanya dikenal melalui kemilau sorotan media yang sangat tipis bedanya dengan para pemain sinetron dan para politikus di Senayan.
Yang lebih memilukan lagi adalah sikap pemerintah terhadap kelompok ormas ini. Mereka tampak seperti tidak memiliki taring atau kekuatan dalam menghadapi orang-orang ini. Ibarat gajah yang ketakutan menghadapi kura-kura. Padahal, sejauh yang saya dengar, mereka adalah kelompok minoritas yang secara sumber daya dan sumber dana lemah. Artinya, mereka bukan kelompok terpelajar yang mengandalkan cara kerjanya dengan otak, melainkan hanya dengan otot. Seorang teman bahkan pernah bilang bahwa mereka adalah kelompok pengangguran yang dimobilisasi dan dibayar, terkadang juga tidak tahu sesungguhnya apa yang mereka lakukan. Hanya teriakan dan pentungan, itulah modal mereka.
Jika pemerintah saja tidak berani menghalau pelbagai tindak tanduk mereka yang merugikan banyak pihak, lantas pemerintah kita ini beraninya kepada siapa? Berbusa-busa apa pun bicara soal penegakan hukum, peningkatan kesejahteraan ekonomi, dan stabilitas keamanan negara, jika hal yang sebetulnya bisa dilakukan oleh pemerintah lebih cepat tapi tidak dilakukan, lantas apa yang mereka lakukan?
Soal ini, atas nama pribadi, kepada siapa saya harus bertumpu mendambakan rasa aman untuk tidak terganggu oleh kelompok ormas ini agar rahim saya, dan mungkin juga rahim sejumlah perempuan tempat bereproduksinya kelanjutan umat manusia, tidak lagi merasa terteror dan mengalami kesakitan? Wallahualam.(Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan Dan Pengurus PP Fatayat NU)