Headline

1.341 Pejabat Publik Daerah Terlibat Korupsi * Bruder "Preman" Pontianak * Petani Kopi Bajawa Kesulitan Modal * Coffee Manggarai: Black Gold * Tradisi “Suap” dan "memburu" proyek * Kota Labuan Bajo Terus Berkembang *

Minggu, 25 Maret 2012

Curhat, Jurus Politik Belas Kasihan Ala SBY


PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mencurahkan isi hati alias curhat lagi. Yudhoyono, dalam silaturahim Partai Demokrat di kediaman pribadi di Cikeas, Bogor, Minggu (18/3) malam, curhat tentang adanya rencana kudeta terhadap dirinya.  

Yudhoyono juga berkeluh kesah soal adanya ancaman terhadap keselamatan diri dan keluarganya. Ancaman itu, menurut Yudhoyono, disampaikan melalui pesan singkat kepada Ibu Negara Kristiani Herawati Yudhoyono.

Belum cukup juga, Yudhoyono pun menyebutkan dirinya diejek dan dihabisi pers dan lawan politiknya pada 2005. Ketika itu, menurut Yudohono, pers dan lawan politiknya menyebut dirinya peragu ketika mengambil keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak.

Soal ancaman kudeta, Yudhoyono semestinya tidak perlu curhat. Dia bisa langsung memerintahkan Badan Intelijen Negara menyelidikinya. Yudhoyono bisa memerintahkan aparat keamanan untuk menangkap dan mengambil langkah hukum terhadap pelaku.

Terkait dengan ancaman keselamatan terhadap diri dan keluarga, Yudhoyono semestinya tak perlu takut. Toh, sebagai presiden, Yudhoyono dan keluarganya mendapat penjagaan dan pengawalan ekstra ketat 24 jam penuh dari Paspampres.
Jika presiden yang mendapat fasilitas pengamanan masih merisaukan keselamatannya, bagaimana pula rakyat yang setiap hari keselamatannya terancam di angkutan umum atau di jalan raya?

Yudhoyono semestinya juga tidak perlu menuding pers dan lawan politik menghujatnya sebagai presiden peragu. Sebagai negarawan, Yudhoyono semestinya memandangnya sebagai kritik.

Pers dan lawan politik bukan menjelek-jelekkan. Mereka sekadar menyampaikan dan memberitakan hal jelek. Menjelek-jelekkan berbeda dengan memberitakan hal jelek. Menjelek-jelekkan artinya mencari-cari kesalahan atau kejelekan seseorang. Memberitakan hal yang jelek artinya menyampaikan sikap atau perilaku yang tidak pas dari seseorang.

Oleh karena itu, Yudhoyono seharusnya memandang semua itu sebagai risiko jabatan. Semua presiden mengalami hal serupa. Presiden Soekarno, misalnya, bahkan tidak Cuma menghadapi ancaman, tetapi juga beberapa kali mengalami upaya pembunuhan. Toh, Bung Karno tidak perlu curhat soal itu.

Sesungguhnya, bukan kali ini saja Presiden Yudhoyono curhat tentang adanya ancaman keselamatan terhadap dirinya. Curhat serupa pernah dilakukan Presiden dalam konferensi pers di halaman Istana Negara pada 17 Juli 2009.

Lalu, pada 7 Agustus 2010, Yudhoyono juga curhat di depan peserta Sekolah Calon Tamtama Rindam III Siliwangi Jawa Barat. Karena terlampau sering mengungkapkan keluh kesahnya, jangan salahkan bila publik menilainya secara kritis. Publik antara lain menilai jangan-jangan Yudhoyono tengah memasang jurus politik belas kasihan.

Artinya, Yudhoyono seolah ingin mengatakan dirinya terancam dan teraniaya agar publik berbelas kasih. Faktanya, alih-alih berbelas kasih, publik justru memandangnya secara negatif. Presiden juga manusia. Manusiawi belaka jika Presiden Yudhoyono ingin menumpahkan isi hatinya. Namun, curhat itu semestinya dilakukan terbatas, tidak diumbar ke publik.

SBY itu Presiden RI ke 8

Dua tokoh yang terlewatkan itu adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat. Keduanya tidak disebut, bisa karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja.


Sjafruddin Prawiranegara adalah Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno dan Moh. Hatta ditangkap Belanda pada awal Agresi Militer II, sedangkan Mr. Assaat adalah Presiden RI saat Republik ini menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (1949).


Pada tanggal 19 Desember 1948, saat Belanda melakukan Agresi Militer II dengan menyerang dan menguasai ibu kota RI saat itu di Yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu terdengar oleh Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Sjafruddin Prawiranegara

Sjafruddin Prawiranegara

Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafrudin mengusulkan dibentuknya pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI. Padahal, saat itu Soekarno - Hatta mengirimkan telegram berbunyi, 'Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Iboe Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra'.

Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government).
Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu 'demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara'.

Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI 'diproklamasikan'. Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinet-nya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.


Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.

Mr. Assaat


Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani di Belanda, 27 Desember 1949 diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia. Negara bagian lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain. Karena Soekarno dan Moh. Hatta telah ditetapkan menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia.

Assaat adalah Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI. Peran Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun, dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampak bahwa sejarah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernah terputus sampai kini. Kita ketahui bahwa kemudian RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Agustus 1950. Itu berarti, Assaat pernah memangku jabatan Presiden RI sekitar sembilan bulan.

Dari fakta ini, dengan demikian, SBY adalah presiden RI yang ke-8.
Urutan Presiden RI yang 'kronologis' adalah sebagai berikut : Soekarno (diselingi oleh Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat), Soeharto, B.J. Habibie, (Alm.) KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

 
 

Demo BBM VS Intelektualitas

DI tengah merebaknya demonstrasi mahasiswa menentang kenaikan harga BBM, tiba-tiba menyeruak pernyataan Mendikbud M Nuh yang mengimbau mahasiswa untuk mengedepankan intelektualitas dalam mengkritisi suatu kebijakan pemerintah. Menurut dia, jika ada kebijakan yang dinilai tidak memihak rakyat, mahasiswa harus merasa tertantang menanggapinya dengan mengedepankan intelektualitas dan membuka ruang-ruang diskusi.

Menarik digarisbawahi dari pernyataan itu adalah kosakata ”intelektualitas”. Menyimak pernyataan Menteri, seolah-olah hendak menegaskan demo mahasiswa tidak menggambarkan intelektualitas. Benarkah berunjuk rasa tidak menggambarkan intelektualitas?

Sejatinya demonstran itu diharapkan menjadi pilar intelektual. Mereka diharapkan menjadi kelompok inti pembaruan masyarakat yang bobrok.  Idealnya mereka bisa mendorong pembaruan lewat ruang publik. Demonstran bertugas mendinamiskan ruang publik. Sebagaimana ditegaskan filsuf Jurgen Habermas, ruang publik bisa hidup bila diisi dengan wacana, diskursus, debat, dan pertemuan-pertemuan. Hidupnya ruang publik ini akan memberi peluang untuk meraih cita-cita kehidupan bersama yang berujung kepada kesejahteraan.
Salah satu wujud ruang publik yang ada di negeri ini adalah demonstrasi. Secara harfiah demonstrasi berarti pernyataan protes yang dikemukakan secara massal (KBBI, 2001:250), dan melahirkan padanan kata unjuk rasa. Mereka ingin menunjukkan perasaannya tapi sebagian besar perasaan tak sepaham.

Tatkala ada mahasiswa menyatakan ”perasaan tak sepaham”, sesungguhnya mereka tengah menjalankan fungsi intelektual. Kita misalnya, menjalankan fungsi intelektual bilamana bersikukuh dengan hati nurani. Kita berhati nurani ketika berkesadaran moral, yakni sadar bahwa mutlak memilih yang benar. Kesadaran ini berasal dari diri sendiri, dan tidak dapat ditawar-tawar. Kalau kita tulus menjalankan fungsi intelektual sudah barang tentu harus mengalahkan pergolakan batin dan menempatkan hati nurani sebagai pemenang.

Rasanya benar jika Vaclav Havel berpandangan kaum intelektual itu merupakan hati nurani bangsa. Maka, bisa dikatakan demo mahasiswa yang menentang kenaikan harga BBM merupakan pengejewantahan nurani bangsa. Pendemo itu tahu memilih yang benar. Bahwa membela penderitaan rakyat adalah tindakan yang benar. Pendemo tahu —berdasarkan pengalaman sebelumnya— rakyat senantiasa menderita akibat kenaikan harga BBM.

Persoalannya kini, apa pasal Menteri Nuh sampai mengeluarkan pernyataan itu? Tafsir yang kemudian muncul adalah Mendikbud bisa jadi melihat bentuk demo terkait BBM yang belakangan terjadi selalu diwarnai kekerasan berbuntut ricuh. Di sinilah ada bias intelektualitas dimaksud. Demonstran sejati sudah barang tentu tak mau diperbudak nafsu kekerasan. Demonstran sejati menjunjung tinggi kesakralan intelektualitas, dan pada akhirnya mampu mengukur sejauh mana menggunakan kebebasannya.

Albert Camus (1974) pernah mengingatkan tak seorang pun berhak atas kebebasan mutlak. Kebebasan itu ada batasnya. Kebebasan seseorang telah melewati batas, alias kebablasan, ketika mulai merambah kebebasan orang lain. Boleh apa pun, menurut seseorang merupakan representasi kebebasan. Tetapi kalau itu merambah kebebasan orang lain, seumpama mengganggu kepentingan orang lain maka bukanlah kebebasan. Di sinilah sebagian pendemo belum menyadarinya.

Celakanya, banyak pendemo membangun batas tipis antara kebebasan dan ketakberadaban. Mereka tengah mempermainkan arti deskriptif dari kebebasan dan lebih menikmati arti emosionalnya sehingga tak menyadari telah melahirkan krisis kebebasan. Orang bijak sering mengingatkan bahwa kebebasan mutlak bukanlah pengukur keluhuran manusia. Kebebasan bagi manusia luhur adalah yang memberikan makna keberadaan kita sebagai manusia, kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi.

Apakah demo BBM telah memenuhi kaidah kebebasan sejati? Jawabannya bisa diberikan melalui ilustrasi berikut. Ketika ada demo BBM, pengunjuk rasa membakar ban di tengah jalan sehingga pemakai jalan lain terganggu. Adakalanya pemakai jalan terpaksa memutar atau berbalik arah. Dalam hal ini pendemo merasa bebas saja membakar ban di tengah jalan tetapi pemakai jalan lain menjadi tidak bebas menggunakan fasilitas umum itu. Kebebasan pendemo itu telah merambah kebebasan pemakai jalan. Artinya, pendemo salah menafsirkan makna kebebasan.

Manakala demo BBM menyalahi makna kebebasan sejati, saat itulah demo dianggap mengingkari fungsi intelektual. Wajar jika kemudian M Nuh merasa perlu mengimbau untuk kembali pada intelektualitas mahasiswa. Memang demo tak perlu berbuat kekerasan. Ketika demo itu diwarnai kekerasan, apalagi berujung ricuh, tentu menjadi pertanyaan lain: inikah demokrasi? Mereka yang salah dalam demo BBM merasa sudah menemukan demokrasi. Padahal kalau mau dikatakan demokrasi, sebenarnya hanya demokrasi yang terdistorsikan. Ada sesat pikir atas mempraktikkan kebebasan

Minggu, 18 Maret 2012

seniman Blora Demo depan Istana Negara

Puluhan seniman Blora melakukan aksi keprihatinan di depan Istana Negara, Jakarta, Senin (19/03/2012). Para seniman tersebut melakukan aksi duduk sembari nembang lagu-lagu jawa serta melukis, mereka juga meminta kepada pemerintah untuk bersikap jujur dalam mengelola negara.


"Aksi ini bertujuan untuk mengingatkan pemimpin kita, jika tidak segera bersikap jujur maka murka Tuhan akan semakin dekat."

Ratusan orang yang menamakan diri "Sedulur Sikep Klopoduwur" dari Blora, Jawa Tengah, menggelar aksi damai di depan Istana Negara, Jakarta, hari ini. Mereka menuntut pemimpin-pemimpin Indonesia untuk jujur dalam bersikap.


"Aksi ini bertujuan untuk mengingatkan pemimpin kita, jika tidak segera bersikap jujur maka murka Tuhan akan semakin dekat," kata Koordinator Aksi Anis Sholeh Ba'asyin di depan Istana Negara, Jakarta.

Ia juga menyoroti kekacauan merupakan kesalahan para pemimpin dan wakil rakyat yang tidak mampu bersikap jujur pada rakyat maupun pada nuraninya.


Anis mengatakan pada akhirnya, para pemimpin itu hanya bisa saling tuding dan menyalahkan satu sama lain.

"Tidak ada yang berani secara jantan mengakui kesalahannya, padahal sikap seperti itu yang harus dicontohkan kepada rakyat," katanya.

Rencananya setelah di depan Istana Negara, massa "Sedulur Sikep Klopoduwur" akan meneruskan aksinya ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan gedung DPR/MPR sekaligus dalam satu hari.

Massa yang hanya membawa satu spanduk bertuliskan "Demi Nama Allah yang Pengasih yang Penyayang Kembalikan Kejujuran ke Indonesia Sebelum Murka-Nya Datang" mengisi aksi damai mereka dengan duduk-duduk dan menyanyikan lagu-lagu Jawa, serta beberapa anggota melakukan pertunjukan teatrikal.

Salah satu tembang Jawa yang mereka nyanyikan adalah "Gundul-gundul Pacul" yang memiliki makna filosofis bagaimana seharusnya pemimpin bersikap.

"'Gundul pacul' artinya adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa 'pacul' (cangkul) untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya," kata Anis.

Kamis, 15 Maret 2012

Haryati Disiksa Majikan Hingga Buta


Kisah PRT Indonesia di Arabsaudi

Haryatin, 34  tahun, Mantan Pekerja rumah tangga di Arabsaudi tak mampu menahan air mata dan emosi saat menceritakan kisah hidupnya dalam acara launching gerakan rakyat untuk penghapusan kekerasan negara terhadap perempuan di gedung teater Salihara, jakarta (8/3)

Haryatin, berkisah di gedung teater Salihara, jakarta (8/3)
Haryatin, perempuan Asal Blitar Jawa Timur.ini malam itu cukup mengugah emosi dan menjadi pusat perhatian ratusan perempuan dan pekerja sosial anti kekerasan. Ia menceritakan kisahnya yang sangat memilukan. Sejak 12 desember 2006, Ia bekerja di Riyadh arabsaudi melalui PT Kemuning Bunga Sejati. Ia menyebutkan nama majikannya adalah Haya Mubarok Said Ausry, namun sayang Haryati disuruh bekerja sebagai Pembantu rumah Tangga di rumah anak majikannya, Fatma yang memiliki 10 orang anak.

Di rumah Fatma, Haryati bekerja 24 jam nonstop, kalaupun sempat beristrahat ia hanya bisa tidur 2 jam dan harus kembali bangaun pada jam 4 dini hari dan langsng mengerjakan pekerjaan seperti memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan dinding, membersihkan lantai, mencucikan semua pakian, membuat susu anak anak fatma majikannya, melayani kebutuhan makan dan pekerjaan rumah tangga lainnya hingga larut malam.


Haryati menuturkan satu bulan bekerja, Ia mulai mengalami kekerasan dari majikannya, rambut Haryati dijambak, kepala dan pungungnya dicambuk dengan mengunakan selang air hingga kepalanya berlumuran darah serta benjol, pungungnya memar memar. “kata majikan saya disksa karena tidak dapat bekerja dengan baik, padahal semua pekerjan saya selalu lancar” kata Haryati dengan isakan.

Tidak tahan diperlakukan sewena wena, Haryati melarikan diri dari rumah yang memperjakanya sebagai pembantu rumah tangga itu. Namun sayang Fatma sang majikan kembali menjemputnya dan tragedi penganiayaanpun semakin sering terjadi dengan sasaran kepala, dan alat fitalnya.

Haryati mengungkapkan, Ia bertahan selama 7 bulan dalam suasana kerja yang tidak manusiawi itu, ia berusaha untuk melarikan diri melompat melalui lantai dua  melalui bak penampung air, tapi terjatuh dan pingsan di kebun tetangga majikannya dan tidak makan dan minum selama 3 hari. Stelah ditemukan oleh tetangganya, Haryati dikemalikan lagi ke majikannya.    

Tragedi kekerasan yang dialami Haryatipun bertambah parah. Ia engatakan saat itu ia disekap di kamar mandi tanpa tanpa makan dan minum. “Kepala saya dibenturkan ke dindng, ditendang, dipukul dengan kabel listrik, muka saya ditampar dengan rotan hingga saya terjatuh, saat terjatuh saya terus diijak injak, hingga mata saya menjadi buta” kisahnya

Haryati mengaku perna menghubunggi keluarganya dan menceritakan kejadian yang menimpahnya dan minta untuk dipulangkan. “Setelah 31 bulan dengan bantuan LSM, saya berhasil lolos dari penyiksaan itu” tuturnya.

Haryati mengatakan, Ia tiba di Indonesia pada 4 agustus 2010 dibandara Juanda surabaya. “sesampai di Indonesia saya berusaha mencari keadilan, saya ke Kementerian tenaga kerja, ke DPR namun hinga kini belum ada keadilan itu. kemana lagi harus saya mencari keadilan, padahal saya ini juga warga negara Indonesia, kenapa tidak ada yang peduli dengan situasi yang saya alami” keluhnya

Hingga kini keluarga Haryati terus memperjuangkan keadilan atas penyiksaan yang dialaminya selama 31 bulan di arabsaudi dan mencari bantuan berbagai pihak untuk menyembuhkan matanya yang kini buta. Dengan suaranya paraunya Haryati meminta pemerintah agar melindunggi bruh migran Indonesia, agar tidak mengalami nasib yang sama seperti dirinya. 

Seruan Perempuan Tua di Padang Gurun Mencari Keadilan

“Baju saya yang bukan hitam sudah habis karena sejak 14 tahun lalu kalau membeli baju selalu saya pilih warna hitam. Lama-lama baju yang lain tergusur,” kata ibu itu pada suatu sore. Rambut di kepalanya sudah banyak yang memutih. Usianya tidak muda, 58 tahun. Perawakannya kecil. Pula posturnya jauh dari tinggi. Tapi, hatinya keras. Selama 14 tahun terakhir ia selalu mengenakan  baju berwarna hitam.

Sumarsih adalah ibu dari almarhum Bernardus Realino Norma Irmawan
Sumarsih adalah ibu dari almarhum Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta. Pada 13 November 1998, Wawan meninggal tertembak peluru tentara di depan Kampus Atma Jaya, Jakarta. Saat itu Wawan hendak menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus.

Tim Relawan untuk kemanusiaan mencatat, 17 orang meninggal dalam peristiwa 13 November,  terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat.

Sementara 456 orang mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam atau tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.
Peristiwa 14 tahun lalu itu mengubah hidup Sumarsih secara drastis. Dari seorang pegawai negeri sipil yang tidak pernah besentuhan dengan dunia politik menjadi seorang aktivis yang setiap saat turun ke jalan beseru-seru tentang keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Rasa sakit di dadanya kehilangan putra tercinta bertransformasi menjadi api perjuangan.

Bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan ia mendata kondisi korban pelanggaran HAM di Jakarta. Ia aktif menghadiri diskusi, menjadi pembicara. Ia menjadi orator unjuk rasa. Ia berkeliling melakukan audiensi dengan institusi tentara, Komisi Nasional HAM, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga Presiden. Sumarsih juga menjadi pendamping bagi keluarga korban, menyemangati mereka untuk tetap kuat memperjuangkan keeadilan yang menjadi hak mereka. Ia pernah melempar telur busuk ke tengah Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat karena lembaga itu mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat.

Atas segala sepak terjangnya, ia pernah mendapat penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2004. Ini adalah penghargaan kepada mereka yang dianggap berjasa memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia. Semangat dan keberaniannya menjadi ikon perjuangan kasus Tragedi Trisakti-Semanggi I dan II.

Hingga kini, tidak ada sinyal menggembirakan dari institusi negara untuk menuntaskan kasus ini. Bersama sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya, berkas kasus Trisaksi-Semanggi I dan II  terus saja bolak-balik ke Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Pasal multitafsir tentang pengadilan HAM ad Hoc pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah sumber kebuntuan.

”Saya sadar ini adalah perjuangan panjang. Butuh stamina. Saya juga kadang-kadang capek. Marah. Tapi, selalu ada saja peristiwa yang menguatkan. Api perjuangan ini tidak bisa dipadamkan. Saya senang karena selalu muncul generasi-generasi baru yang peduli atas kasus ini” terang Sumarsih.

Api perjuangan itu memang belum padam. Kalau Anda melintas di Jalan Medan Merdeka Utara pada setiap Kamis pukul 16.00 WIB, seperti hari ini, kamisan ke-250, Anda akan melihat sekelompok orang berdiri di seberang Istana Negara sambil membentangkan spanduk. Mereka tidak berorasi, tidak pula melakukan aksi teatrikal layaknya peserta unjuk rasa meski mereka sedang berunjuk rasa. Mereka hanya berdiri dan diam, tanpa suara. Biasanya setelah satu jam mereka membubarkan diri dan kembali lagi hari Kamis pekan berikutnya. Sudah hampir dua tahun (sejak 18 Januari 2007) mereka menyambangi istana.

Aksi Kamisan itu –demikian mereka menyebutnya- adalah cara para korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) mengingatkan pemerintah untuk menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini. Diantara kelompok orang itu, anda akan mudah mengenali Sumarsih dengan baju hitam dan rambutnya yang memutih. Dalam diam Sumarsih berseru-seru tentang keadilan, seruan perempuan tua di padang gurun.

Aksi Diam, Kamisan ke-250

Hari ini, Kamis 15 Maret 2012, Kamisan ke-250. Angka yang cantik untuk diperingati. Dibantu dari berbagai tokoh dan aktivis, hari ini mereka masih berusaha memohon kepada presiden untuk menanggapi mereka, menindak para pelanggar HAM, membantu mereka mendapatkan keadilan. Semoga Kamis ke-250 ini SBY membuat sejarah keadilan yang baru di Indonesia: melawan diam. 

Kamisan adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 dari para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Mereka adalah korban ’65, korban Tragedi Trisakti dan Semanggi ’98, korban tragedi Rumpin, dan korban pelanggaran HAM lainnya. Setiap Hari Kamis Pukul 16.00 hingga 17.00 di depan Istana Presiden, mereka berdiri, diam, berpakaian hitam, dan berpayung hitam bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM. Mereka juga mengirimkan surat kepada presiden, menggelar spanduk, foto korban, dan membagikan selebaran untuk para pengguna jalan. Hitam dipilih sebagai lambang keteguhan duka cita mereka yang berubah menjadi cinta kasih mereka pada korban dan sesama, payung sebagai lambang perlindungan, dan Istana Presiden sebagai lambang kekuasaan. Ketika hak hidup keluarga tidak mendapat perlindungan dari negara, Tuhan akan melindunginya.

Kamis 8 Maret 2012 lalu akhirnya saya berkesempatan mengikuti Kamisan di depan Istana Presiden. Sebenarnya tidak tepat di depan istana tetapi di seberang istana. Di depan istana dikelilingi kawat berduri dan tentara-tentara berwajah siaga jika ada yang mendekati istana sehingga tak mungkin aksi ini berlangsung tepat di depannya. Sampai disana yang terlihat beberapa mahasiswa dan pendemo yang sudah lanjut usia. Mereka berdiri di depan foto-foto korban pelanggaran HAM dan sebuah spanduk “AKSI DIAM MELAWAN IMPUNITAS” sambil memegangi payung hitam bertuliskan anti pelanggaran HAM. Beberapa dari mereka melalui perjalanan panjang menggunakan kendaaraan umum untuk mengikuti aksi ini. Hati saya merinding.


Saya beranikan diri berkenalan dengan sosok ibu kurus, berambut putih, berbusana hitam-hitam, bernama Ibu Sumarsih. Ibu Sumarsih adalah Ibu dari Wawan, mahasiswa yang ditembak sniper pada saat kerusuhan ’98. Dengan ramah ia menerima saya dan menjawab pertanyaan saya mengenai sejarah aksi Kamisan. Walaupun saya yakin pertanyaan itu sudah ratusan kali ditanyakan kepadanya, namun ia menjawab dengan antusias, dengan sangat detail, dengan mata berbinar-binar.
Sumarsih menyiapkan sepucuk ”surat cinta” untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ini bukan ”surat cinta” pertama. Ia telah berkirim surat kepada Presiden sejak aksi Kamisan pertama digelar pada 18 Januari 2007. Selama lima tahun ”cinta”-nya masih bertepuk sebelah tangan. Sampai Kamis ke-249 tak pernah satupun ditanggapi oleh SBY, walaupun 194 surat tak pernah satupun dibalas oleh SBY,

”Ini surat cinta kami untuk Presiden, semoga saja dibaca segera,” kata Sumarsih sambil menunjukkan selembar kertas bewarna putih.

Surat cinta Sumarsih dan keluarga korban pelanggaran HAM berisi tuntutan kepada Presiden agar tak lupa menyelesaikan secara tuntas dan adil berbagai kasus pelanggaran HAM di negeri ini. Ada 10 tuntutan dalam surat itu.

Berikut 10 tuntutan tersebut:
  1.  Menginstruksikan kepada Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki Komnas HAM, yaitu Tragedi Trisakti, Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (24 September 2009), tragedi Mei 1998, tragedi Talangsari-Lampung, penculikan dan pehilangan orang paksa 97-98, dan tragedi Wasior Wamena.
  2. Mendorong digelarnya pengadilan pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib untuk membongkar dalang pelakunya.
  3.  Menginstruksikan Komnas HAM untuk menyelesaikan penyelidikan tragedi 65 sebagai dasar untuk pemberian rehabilitasi korban.
  4.  Menginstruksikan Menteri Kesehatan agar setiap rumah sakit bertanggung jawab atas kasus malapraktik.
  5. Mendorong aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap aksi kekerasan yang dilakukan siapapun dengan mengedepankan prinsip HAM dalam prosesnya dan kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh subur di tanah Indonesia yang pluralis.
  6. Melaksanakan putusan MA atas hak tanah pembangunan GKI Yasmin.
  7. Melakukan perlindungan terhadap buruh migran.
  8. Menuntaskan ganti rugi warga korban Lapindo.
  9. Menuntaskan kasus penggusaran tanah warga Rumpin.
  10. Memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya demi terwujud masyarakat yang adil dan sejahtera.


"Merevolusi Reformasi"

REFORMASI adalah istilah untuk pembangunan masyarakat yang banyak digunakan di negara-negara Amerika Latin. Dalam bahasa Inggrisnya disebut social reform. Reformasi sosial atau pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk peningkatan taraf hidup masyarakat tentunya harus berdasarkan dalil-dalil pembangunan pula.
 
Dalam masa Orde Baru landasan pembangunan didasarkan atas Rencana Pembangunan Lima Tahun , yang setiap lima tahun ada sasaran yang akan dituju , terlepas dari kacamata pandangan yang menentang nya konsep pembangunan seperti ini sangat jelas arah dan sasaran nya .
 
Pengelolaan pembangunan masyarakat harus dilandasi perencanaan yang matang dan penerapan manajemen yang be3rkelanjutan. Selain itu reformasi di Indonesia harus dilandasii pula oleh dasar negara, yaitu Pancasila baik sebagai landasan konstitusional maupun sebagai landasan moral. Karena itu Pancasila adalah paradigma atau pola pikir untuk pelaksanaan reformasi atau pembangunan masyarakat.
 
Setelah berjalan nya Reformasi yang telah memasuki tahun ke 11 , kita sebagai bangsa telah merasakan semakin karut marut nya keadaan bangsa dan bernegara , dalam reformasi yang berjalan selama ini tidak ada nya konsep yang jelas ,hanya bermodalkan rasa amarah dan bandul ekstrem asal bersebrangan dengan Orde Baru , akibat nya apa yang berbau Orde Baru dilibas , dan puncak nya adalah Amandemen UUD 45 ,penghapusan GBHN, dan Penjelasan UUD 45, menjadikan bangsa ini kehilangan ukuran-ukuran dan arah kemana bangsa ini akan menuju.

Ada beberapa agenda yang harus segera di reformasi kalau bisa tetapi Revolusi menjadi jawaban yang patut dipertimbangkan hal ini berkaitan dengan keadaan yang sudah berakar dan bersetan ,ibarat kangker harus ada kemauan mengamputasi agar bangsa ini bisa sehat dan menatap matahari kedepan dengan harapan dan tujuan berbangsa bernegara.

Pertama,pembenahan kembali penataan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dimulai dengan Rekontrusi UUD 45, penataan kembali amandemen pertama sampai dengan keempat Undang-Undang Dasar Negara sesuai dengan prosedur dan tatacara amandemen yang benar dengan mengacu pada Undang-Undang Dasar Negara sebagai hukum dasar. Hukum dasar hanya mengatur aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang diperlukan untuk penyelenggaraan aturan-aturan pokok tersebut harus ditetapkan dengan undang-undang.Reformasi terhadap lembaga hokum dan Penataan Polri ,kejaksaan dan Kehakiman yang selama ini terindikasi terjadi nya mafia peradilan jika masih bisa jika tidak maka harus ada keberanian melakukan revolusi ,hal ini melihat akut nya masalah hukum dan lembaga hukum rasa nya tidak cukup hanya membentuk satgas Hukum.

Kedua, penegakan hukum harus dimulai dengan penataan hirarkhi peraturan perundang-undangan secara nasional. Sehingga tidak timbul tumpang tindih peraturan, dan peraturan yang di bawah harus mengacu pada peraturan di atasnya. Peraturan yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang di atasnya serta merupakan rincian dari peraturan di atasnya. Menata kembali Ke Polisian ,revolusi ini menempatkan polisi dibawah departemen tergantung bidang nya masing-masing .

Ketiga, penataan kembali otonomi daerah yang selama ini dalam praktek nya sering terjadi pertikaian diakar rumput ,antar daerah dan konflik yang justru merapuhkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan . Otonomi Seluas-luasnya tidak dapat diartikan sebagai sebebas-bebasnya tanpa mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya tentang hak dan kewajiban Daerah.dan kemampuan daerah yang terkadang justru ketika menjadi Daerah sendiri rakyat semakin sengsara akibat tidak cukup nya beban APBD daerah untuk menunjang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah .

Keempat, penataan demokrasi sebagai sarana (means) dan sistem pemerintahan yang bersumber pada kedaulatan rakyat (kedaulatan di tangan rakyat).Demokrasi yang dijalan kan saat ini adalah demokrasi proseduan .ural , demokrasi transaksional , pada praktek-praktek Pemilu Kada yang akan berjalan bulan depan bukan rahasia lagi jika partai-partai politik menjadi Blantik-blantik yang menjual kursi partai untuk calon Walikota atau Bupati dengan bayaran milyardan rupiah.kepada ketua partai pusat sampai daerah , model pemilihan yang semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar ,bahkan lebih gawat lagi atas nama uang dan pecitraan kandidat dari seorang Rahwana bisa berubah menjadi Arjuna , atau seorang Garong menjadi Ulama,tergantung berapa banyak uang yang ada dan bisa membeli Konsultan pencitraan dan tayangan TV.

Partai politik seharus nya mempunyai tugas menyiapkan kader-kader terbaik sebagai negarawan ,bukan sebagai blantik politik atau komprador-komprador . Oleh sebab itu mengembalikan Demokrasi berdasarkan Pancasila adalah Revolusi pola pikir yang harus dilakukan ,Demokrasi yang diterapkan di Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip yang terkandung pada dasar negara Pancasila, yaitu Demokrasi yang dipimpin oleh ”Hikma Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan.“ Demokrasi yang dipimpin oleh Hikma Kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan inilah yang harus dikembangkan dan diterapkan dalam kehiduapan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.bukan demokrasi Liberal Ala Amerika ,atau demokrasi Transaksional .

Kelima, penataan kembali sistem pemilihan kepala daerah. Agar pengelolaan pemerintahan tidak disibukkan hanya untuk mempersiapkan pemilihan kepala daerah yang memakan banyak tenaga, pikiran dan dana, perlu pemikiran ulang untuk menyusun kebijakan tentang pemilihan kepala daerah. Pertimbangan pokoknya adalah lebih perlu tenaga, pikiran dan dana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dari pada untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat bukan satu-stunya unsur atau ciri demokrasi. Demokrasi bukan tujuan, melainkan hanyalah sarana untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia.

Ke enam Revolusi mengembalikan sistem ekonomi Pancasila ,ekonomi Neoliberalisme yang secara praktek dijalankan dengan muncul nya UU Investasi dan UU pertambangan harus segera di cabut karena jelas-jelas bertentangan dengan pasal 33 UUD 45 yang berbunyi : Demikian pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945.
 
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa "dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang". Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
 
Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan bersikap mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat didelegasikan kesektor-sektor swasta besar dan asing atau Badan Usaha Milik Negara buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan rakyat. "Mendua" karena dengan pendelegasian ini, peran swasta asing di dalam pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta asing yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam ini.
 
Sedangkan pengertian "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" menjadi sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.Revolusi pada bidang ekonomi menjadi hal sangat terpenting

Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya dikuasai oleh sekelompok orang asing saja. Maka ada erosi makna pasal 33 yang seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak

Dari uraian diatas jelas Reformasi yang sedang berjalan selama hapir sebelas tahun perlu dilakukan koreksi , jika tidak bisa bagaikan penyakit kangker harus ada perbaikan yang mendasar dan menyeluruh , kita bisa merasakan Pupus nya Nasionalisme kebangsaan kita akibat terjadi nya distorsi jati diri bangsa ini , jika kita tidak berani melakukan Revolusi i maka bangsa ini akan berjalan tanpa makna .

Selasa, 13 Maret 2012

Organisasi Kekerasan Dan Teror Rahim

Dalam kondisi tubuh yang kurang sehat, saya berkata kepada adik saya,  bahwa saya sudah tidak sanggup lagi mendengar nama salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) yang selalu melakukan tindak kekerasan atas nama agama di mana-mana. Setiap mendengar nama organisasi ini, rahim saya melilit kesakitan dan lambung saya mual seperti ada tusukan yang memuncratkan energi negatif yang membuat saya limbung. Apalagi bila menyaksikan pelbagai keberingasan mereka di lapangan melalui televisi. Ekspresi mereka penuh dengan sorot mata kemarahan, kebencian, bahkan ketika mereka menyatroni rumah-rumah yang garis keislamannya tidak sehaluan dengan mereka, mereka meneriakkan kata-kata Allahu Akbar seraya melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan penghuni rumah dengan cara yang sangat beringas.

Ada banyak dugaan yang dilabelkan kepada ormas ini, misalnya mereka bisa bertahan sampai sekarang karena di belakangnya ada orang kuat yang melindungi mereka. Buat saya, dugaan itu tidak saya hiraukan, karena saya tidak dapat membuktikannya. Jika pun itu benar, itu juga bukan urusan saya.Yang saya hirau adalah mereka meneriakkan Allahu Akbar, sebuah lafaz yang mengagungkan nama Allah untuk menunjukkan kebesaran-Nya, tapi buat mereka lafaz tersebut digunakan untuk mengekspresikan perilaku barbar dengan merusak tempat-tempat tertentu dan rumah-rumah yang dianggap berbeda dengan mereka. Selain itu, atas nama membantu para aparat penegak hukum, dalam bulan-bulan suci, seperti bulan Ramadan, mereka merazia tempat-tempat yang mereka anggap maksiat sebagai wujud yang mereka sebut tindakan amar makruf nahi mungkar (berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran).


Pertanyaan yang dapat diajukan, apakah diri mereka cukup ma’ruf atau suci sehingga mereka perlu mengajak orang lain dengan cara brutal? Dalam ajaran Islam, seorang yang benar-benar suci tidak akan pernah merasa dirinya suci sebagai wujud dari kerendahhatian bahwa yang suci itu hanyalah milik Allah, dan karena itu umat Islam dianjurkan untuk mengucapkan “Subhanallah”untuk menegaskan bahwa kesucian itu hanya milik-Nya semata. Bahkan Abu Ali al-Hasan ibnu Hani al-Hakami, seorang sufi besar dan penyair Islam termasyhur yang kesuciannya diakui oleh para wali (orang suci) dalam dunia tasawuf pada masa Harun al-Rasyid (786-809 H), membuat syair yang disenandungkan oleh Abu Nawas: Ilaahi lastu lilfirdausi ahla, wala aqwa alannaril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fainnaka ghafirudzdzanbil `adzim (Ya Allah, tidak layak hamba-Mu ini masuk ke dalam surga-Mu, tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu. Maka kami mohon tobat dan mohon ampun atas dosaku).

Dalam kaitan dengan ini, hal paling mungkin yang bisa dilakukan terhadap orang-orang yang mengabaikan ajaran Tuhan adalah mengajak mereka pada kebaikan, itu pun jika mereka mau. Jika mereka menolaknya, itu juga bergantung pada pilihan mereka dan kita tidak dapat memaksanya: faman sya`a fal yu`min waman sya`a falyakfur (S. Al Kahf, 29): barangsiapa yang hendak beriman, berimanlah; dan barangsiapa yang ingkar (kafir) juga diberi kebebasan. Demikian kata Al-Quran sebagai wujud kemerdekaan kepada umat manusia, karena merekalah yang akan menanggung untung dan ruginya.

Sepanjang ingatan saya, ormas ini muncul ketika Indonesia memasuki era reformasi (1998). Para preman berjubah ini, meminjam istilah Buya Syafii Maarif, tampak sering membantu aparat penegak hukum dalam merespons pelbagai kekacauan yang sering kali terjadi pada saat itu. Perkembangan lebih lanjut, mereka seperti percaya diri bertindak seolah-olah aparat penegak hukum.

Hal yang saya sayangkan juga, pasukan ormas ini menggunakan baju koko atau berjubah putih dan bersorban. Dalam tradisi NU, pakaian sejenis ini tidak sembarang orang yang memakainya. Hanya orang-orang yang mencerminkan kekokohan pengetahuan agama Islam dan etika yang baik serta menjadi panutan masyarakat yang biasa memakainya.

Dalam sejarah Islam di Indonesia, sejumlah pemuka agama yang menggunakan pakaian sejenis ini misalnya KH Hasyim Asy’arie, pendiri NU; KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; KH Agung Abdurrahman, pendiri Mathlaul Anwar di Banten, dan sejumlah ulama penerusnya-yang saat saya masih kecil–tampak penuh keagungan sebagai seorang ulama jika kita bersilaturahmi dengan mereka; mereka berbicara sangat pelan dan hati-hati. Petuah mereka adalah mutiara dan jauh dari mengumbar pernyataan-pernyataan yang membingungkan umat dan teriakan-teri akan yang membuat pendengarnya ketakutan.

Untuk soal pakaian sejenis ini, Buya Hamka dalam novelnya, Di Bawah Lindungan Ka’bah, melakukan desakralisasi terhadap pakaian jenis ini dengan melakukan pembaruan bahwa keagungan seseorang bukan dari pakaian, melainkan sejauh mana perilaku mereka dihiasi oleh akhlak yang baik dan kedalaman ilmu pengetahuannya. Karena itu, bagi Buya Hamka, seorang pemuka agama pun boleh memakai celana pantalon dan topi daripada memakai jubah dan sorban tapi perilakunya seperti preman dan bromocorah.

Mungkin kelompok ormas ini berniat memerangi kemaksiatan sesuai dengan ajaran Islam. Tetapi hal yang mesti diketahui oleh mereka adalah meskipun Indonesia ini mayoritas beragama Islam, tapi yang taat mengikuti ajarannya juga minoritas. Gus Dur pernah mengatakan kepada saya bahwa diperkirakan hanya 30 persen orang Islam yang taat mengikuti ajarannya. Selebihnya adalah orang-orang yang berislam secara keturunan alias Islam KTP; salatnya belang-belang untuk tidak mengatakan hanya dua kali dalam setahun, yakni salat Idul Fitri dan Idul Adha saja, tidak bisa baca Al-Quran dan tidak berpuasa, meskipun belakangan ini tampak ada gairah baru dari kalangan muslim perkotaan yang menjalankan ketaatan kepada agamanya. Tetapi hal itu tidak apa, sepanjang mereka tidak bertindak onar dan mengganggu ketenteraman terhadap orang lain. Lagi pula jangan berharap dunia ini bersih dari kemaksiatan di mana orang-orang di dalamnya berbuat baik seluruhnya. Justru kesempurnaan dunia ini adalah ketika kita menyaksikan manusiamanusia dan isinya dalam ketidaksempurnaannya.

Hal yang juga membuat saya sedih adalah tidak ada lagi ulama di negeri ini yang memiliki pengaruh atau wibawa untuk menghentikan tindakan keonaran mereka. Apakah karena para ulama tersebut mendukung gerakan yang mereka lakukan atau mereka sudah tidak peduli lagi pada akibat yang ditimbulkannya? Boleh jadi pula kelompok ormas ini juga sudah enggan mendengar wejangan para ulama yang saat ini agaknya tidak lagi menjadi tempat berlabuh umat, karena hanya dikenal melalui kemilau sorotan media yang sangat tipis bedanya dengan para pemain sinetron dan para politikus di Senayan.

Yang lebih memilukan lagi adalah sikap pemerintah terhadap kelompok ormas ini. Mereka tampak seperti tidak memiliki taring atau kekuatan dalam menghadapi orang-orang ini. Ibarat gajah yang ketakutan menghadapi kura-kura. Padahal, sejauh yang saya dengar, mereka adalah kelompok minoritas yang secara sumber daya dan sumber dana lemah. Artinya, mereka bukan kelompok terpelajar yang mengandalkan cara kerjanya dengan otak, melainkan hanya dengan otot. Seorang teman bahkan pernah bilang bahwa mereka adalah kelompok pengangguran yang dimobilisasi dan dibayar, terkadang juga tidak tahu sesungguhnya apa yang mereka lakukan. Hanya teriakan dan pentungan, itulah modal mereka.

Jika pemerintah saja tidak berani menghalau pelbagai tindak tanduk mereka yang merugikan banyak pihak, lantas pemerintah kita ini beraninya kepada siapa? Berbusa-busa apa pun bicara soal penegakan hukum, peningkatan kesejahteraan ekonomi, dan stabilitas keamanan negara, jika hal yang sebetulnya bisa dilakukan oleh pemerintah lebih cepat tapi tidak dilakukan, lantas apa yang mereka lakukan?

Soal ini, atas nama pribadi, kepada siapa saya harus bertumpu mendambakan rasa aman untuk tidak terganggu oleh kelompok ormas ini agar rahim saya, dan mungkin juga rahim sejumlah perempuan tempat bereproduksinya kelanjutan umat manusia, tidak lagi merasa terteror dan mengalami kesakitan? Wallahualam.(Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan Dan Pengurus PP Fatayat NU)

Sabtu, 10 Maret 2012

Manusia Gebobak, Mengembara di Kota Jakarta


Gerobak penuhsampah plastik terparkir depan Kantor Komisi Hak Asasi Manusia, jalan Latuharhari Jakarta, selasa 6 Maret kemarin.  Nama Pemiliknya Samsiah, tengah bersantai disamping Gerobaknya, Samsiah hari itu ditemani anak laki lakinya yang tengah tertidur pulas di dalam Gerobak.  Sekitar satu jam lamanya Ibu anak ini beristrahat ditempat ini, sebelum mereka melanjutkan perjalanan.

Samsiah Bersama anaknya beristrahat sejenak
Hari itu Janda dengan dua orang anak itu mencari barang barang bekas  disepanjang jalan Latuharhari kemudia sorenya Ia menyetorkannya ke  pemilik lapak di Manggarai. “setelah ini harus berjalan lagi, mencari barang barang bekas, hari ini harus dapat banyak karena anak sulung saya sedang sakit” kata Samsiah, Ia dengan enteng menarik gerobaknya yang sarat dengan sampah plastik dan kardus bekas beraneka ragam

"saya boleh ambil foto sebentar" kataku meminta ijin pada samsiah.
"Silakan mas, banyak kok yang suka foto foto kami dijalanan" kata samsiah

Samsiah yang suka ngobrol itu adalah satu dari puluhan ribu manusia Gerobak yang setiap hari melintas di raus jalan kota Jakarta. Komunitas manusia gerobak  dan para pemulung juga sering dijumpai di Stasiun Cikini, mereka mencari barang barang bekas dengan gerobak. Didalam Gerobak itu terkadang ada pula anak anak mereka yang masih berusia balita dan anak anak. Jika bersama suami, sang istri biasanya berada di belakang seolah mengawasi dari belakang gerobak yang di tarik sang suami.

Fenomena manusia Gerobak adalah fenomena yang lazim dijumpai di jalan jalan kota Jakarta. Disebut manusia Gerobak karena gerobak adalah ciri khas mereka. Gerobak ukuran sekitar 1 x 2 meter tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat barang barang bekas yang mereka peroleh untuk kemudian di jual lagi, tapi memiliki multifungsi, yatni sebagai tempat tidur, tempat menaruh piring gelas dan kebutuhan sehari hari, Gerobak merupakan rumah untuk mereka.

Manusia gerobak adalah sekelompok manusia korban pengusuran, hidup tidak menetap banyak anak anak ikut bersama orang tuanya kesana kemari dengan gerobaknya. Geroba adalah rumah untuk mereka.

Pada mulanya para pekerja informal yang juga memiliki rumah tinggal kendati hanya mengontrak dan kontrakan mereka mungkin diatas lahan ilegal. Disana mereka memiliki fasilitas listrik juga air. Anak anak merekapun bisa bersekolah. Tapi, karena hunian mereka itu yang diangap ilegal, mereka digusur dengan berbagai alasan dan di Jakarta alasan pengusuran yang sering dipakai adalah menempati tanah yang bukan haknya, lantas mereka pindah ke tempat lain yang kondisinya lebih buruk dari sebelumnya seperti dibawah jembatan atau lahan kosong dengan bangunan seadanya. Namun di empat ini kerapkali mereka digusur kebali, amak merekapun pindah lagi sampai akhirnya mereka menjadi manusia gerobak. Ketika menjadi manusia gerobak mereka tak perna tergusur lagi karena tak memiliki rumah, gerobak adalah rumah mereka yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain

Kebanyakan manusia gerobak tidak memiliki tempat tinggal. Mereka biasanya bersama gerobaknya tinggal diemperan toko, taman, pasar, kolong jebatan atau stasiun. Untuk keperluan mandi atau buang air biasanya dilakukan di stasiun karena cukup hanya membayar seribu atau duaribu rupiah.

Di wilayah Jakarta selatan manusia gerobak mudah dijumpai dibawah jembatan layang kebayoran atau di bawah kolong jalan simatupang. Para manusia geroba ini mulai beroperasi sekitar pukul 06.00 pagi dan pulang sekitar pukul 19.00 malam.

Merebaknya manusia Gerobak disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya makin meningkatnya barang barang bekas seiring makin naiknya  tingkat konsumsi warga jakarta. Kemudian peerjaan ini tidak membutuhkan modal dan resio pekerjaan ini kecil. Fakor lainya adalah pilihan bekerja tidak dibawah tekanan atau menjadi “manusia bebas” tanpa ikatan atau paksaan dari siapapun.

Manusia Gerobak selalu mendatanggi sejumlah tempat yang selalu ada dan berpotensi menyediakan barang bekas yang masih layak dijual, misalnya jalan raya, Pasar, pemukiman warga dan tempat penampungan sampah.

Tak ada jumlah pasti berpa manusia gerobak di Jakarta, pada tahun 2009 misalnya di jakarta diperkirakan sedikitnya  ada 2.500 manusia gerobak yang diantaranya tersebar di Tanahabang, Senen dan kemayoran.
Paling mengkhatirkan dari manusia gerobak adalah nasib anak anak mereka, praktis tidak sekolah dan tak tersentuh pelayanan kesehatan. Dalam jangka panjang , ini otomatis akan menimbulkan masalah baru karena tanpa pendidikan mereka sulit akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik

Maraknya manusia gerobak, seperti halnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis merupakan problem ibu kota. Dari prespektif HAM itu merupakan bentuk kelalaian negara.

Hak yang yang paling tercabut dari merekamenurutnya adalah hak atas kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Mereka tidak memiliki akses pendidikan, pekerjaan ataupun akses perumahan yang mestinya menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya.