The meat-eating Komodo dragon can grow to more than three metres in length and is the world's largest living lizard.
Although it is considered a vulnerable species and protected by the government, the lizard is coming into contact with humans more frequently.
As Al Jazeera's Step Vaessen reports that has led to an increasing spate of attacks (19 Mar 2010)
Jumat, 04 Mei 2012
Indonesian Christians under attack
Violent attacks against Christians in Indonesia have forced the closure of 20 churches in recent months, testing the fragile religious balance in predominantly-Muslim nation.
But the government denies the incidents are a sign of growing religious intolerance, putting the blame on politics and regional elections instead.
Al Jazeera's Step Vaessen reports from West Java. (May 11, 2010)
But the government denies the incidents are a sign of growing religious intolerance, putting the blame on politics and regional elections instead.
Al Jazeera's Step Vaessen reports from West Java. (May 11, 2010)
Kamis, 03 Mei 2012
Pesona Alam Labuan Bajo
Kota Labuan Bajo di Kecamatan komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT bukan sekadar Kota biasa. Tinggal beberapa hari di sana akan membawa Anda menemukan sisi lain keindahan Flores.
Tak ada habisnya membicarakan keindahan alam Flores. Mulai dari bukit, laut, hingga pantainya indah untuk dipandang. Alamnya yang masih asri menambah kenikmatan tersendiri saat berkunjung ke sana.
Salah satu kawasan yang menawarkan keindahan alam Flores adalah Labuan Bajo di Taman Nasional Komodo. Dilihat dari website pariwisata Indonesia, Labuan Bajo adalah sebuah pelabuhan kecil yang cantik di ujung Barat Flores.
Tak ada habisnya membicarakan keindahan alam Flores. Mulai dari bukit, laut, hingga pantainya indah untuk dipandang. Alamnya yang masih asri menambah kenikmatan tersendiri saat berkunjung ke sana.
Salah satu kawasan yang menawarkan keindahan alam Flores adalah Labuan Bajo di Taman Nasional Komodo. Dilihat dari website pariwisata Indonesia, Labuan Bajo adalah sebuah pelabuhan kecil yang cantik di ujung Barat Flores.
Waktu terbaik untuk menikmati Labuan Bajo adalah sore menjelang malam. Datanglah ke pelabuhan dan nikmati pergantian sore ke malam di sana.
Pada sore hari, saat matahari belum terbenam, Anda bisa melihat hamparan laut dengan hiasan pulau-pulau kecil di atasnya. Jika penasaran dengan alam bawah lautnya, terjun dari atas dermaga pasti seru.
Pada sore hari, saat matahari belum terbenam, Anda bisa melihat hamparan laut dengan hiasan pulau-pulau kecil di atasnya. Jika penasaran dengan alam bawah lautnya, terjun dari atas dermaga pasti seru.
Lepas baju Anda dan terjunlah ke lautan. Temukan ikan aneka warna dan ukuran yang dijamin cantik. Menyelam lebih dalam lagi, ada banyak terumbuh karang berbagai ukuran menanti.
Alam bawah laut Labuan Bajo memang masih bersih dan bebas dari tangan jahil. Kebanyakan wisatawan yang datang sangat peduli lingkungan dan menjaga kelestarian bawah laut Bajo. Jadi tak heran kalau kecantikkan bawah laut Labuan Bajo masih terjaga.
Alam bawah laut Labuan Bajo memang masih bersih dan bebas dari tangan jahil. Kebanyakan wisatawan yang datang sangat peduli lingkungan dan menjaga kelestarian bawah laut Bajo. Jadi tak heran kalau kecantikkan bawah laut Labuan Bajo masih terjaga.
Begitu menjelang matahari terbenam, hentikan penyelaman Anda untuk menyaksikan momen terbaik di Bajo. Pastikan Anda menyaksikan siluet kemerahan dari ufuk barat Flores.
Suasana Labuan Bajo di pagi hari tak kalah cantik dengan sore hari. Di pagi hari, Anda bisa menghirup udara segar Bajo, sambil menjejakkan kaki di atas pasir putih pantainya.
Suasana Labuan Bajo di pagi hari tak kalah cantik dengan sore hari. Di pagi hari, Anda bisa menghirup udara segar Bajo, sambil menjejakkan kaki di atas pasir putih pantainya.
Minggu, 29 April 2012
Sahrul dan Sahril ditelantarkan oleh Negara
Kakak beradik Sahrul (8) dan Sahril (6) selalu menyendiri disebuah rumah taklayak huni di daerah Kelurahan Lantora, Kecamatan Polewali, Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Kondisi kedua bocah ini sangat memperihatinkan.
Sahrul dan Sahril |
Badan Sahrul dan Sahril terlihat kurus, seperti tinggal tulang yang berbalut kulit. Berat badan keduanya pun jauh dari kondisi normal. Sahrul hanya memiliki berat 8 kilogram, sedangkan berat badan Sahril hanya 6,5 kilogram.
Orangtua kedua bocah itu telah meninggal lima tahun silam. Mereka diasuh oleh keluarga sang bibi, Nurhayati, yang kehidupannya pas-pasan. Nurhayati bekerja sebagai penjual sayur di pasar tradisional. Mereka tidak bisa memberikan asupan gizi yang cukup untuk Sahrul dan Sahril.
Penghasilan sang bibi dari berdagang sayur, ternyata sangat jauh dari cukup untuk menopang kehidupan mereka. Sebab, sebagian uang dipakai untuk membayar bunga utang.
Untuk mengganjal perut, sejak tujuh tahun silam keduanya hanya mengonsumsi air tajin. Itulah sebabnya Sahrul yang kini berusia tujuh tahun hanya memiliki berat badan sembilan kilogram, sementara Sahril, sang adik hanya delapan kilogram.
Undang-Undang Dasar 1945 memang mengamanatkan negara untuk memelihara fakir miskin dan anak telantar. Sayang, amanat itu tak dirasakan Sahrul dan Sahril. Kedua bocah malang ini ditelantarkan oleh Negara, sunguh mereka hidup tanpa peran Negara.
Minggu, 01 April 2012
Paus dan Castro
Paus Yohanes Paulus II dan Fidel Castro |
Dari sudut pandang Havana, inilah bagian dari usaha pemerintahan Fidel Castro untuk mengintegrasikan Kuba dengan kehidupan belahan bumi Barat. Kebijakan Castro itu didorong oleh peristiwa luar biasa yang terjadi di Uni Soviet: runtuhnya rezim komunisme Uni Soviet dan bubarnya negara tersebut menjadi banyak republik merdeka. Dengan hancurnya Uni Soviet, Kuba kehilangan sumber subsidi yang telah lama dinikmati, ditambah lagi dengan embargo ekonomi dari AS.
Akan tetapi, bila dilihat secara lebih luas, inilah sentuhan terakhir dalam drama ideologi terbesar di akhir abad ke-20, yakni konflik antara humanisme atheistik dan humanisme Kristiani. Komunisme, yang dianut Kuba, adalah ekspresi humanisme atheistik. Dan, kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke Kuba menawarkan kembali humanisme Kristiani.
Dalam salah satu khotbahnya waktu itu, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, humanisme Kristiani itu membebaskan atau kemanusiaan dalam iman Kristiani berarti pembebasan: manusia adalah ciptaan yang diberi kebebasan untuk menentukan hidupnya.
Kenangan atas kunjungan Paus Yohanes Paulus II itu kemarin hidup lagi saat Paus Benediktus XVI mengunjungi Kuba. Paus Benediktus XVI menyebut kunjungan pendahulunya itu ”bagaikan angin sepoi-sepoi yang memberikan kekuatan baru pada Gereja Kuba”.
Ia seperti menapaki kembali jalan yang dulu dilalui Paus Yohanes Paulus II. Ia mengunjungi Kuba untuk ”perziarahan kemurahan hati” dan akan berdoa untuk perdamaian, kebebasan, dan rekonsiliasi (The Christian Science Monitor, 26/3). Inilah bahasa lain dari ”perziarahan pastoral”, istilah yang dulu digunakan Paus Yohanes Paulus II. Dulu, Paus Yohanes Paulus II disambut Fidel Castro, kini Paus Benediktus XVI disambut Raul Castro. Keduanya mengenang kunjungan bersejarah Paus Yohanes Paulus II.
Yang terjadi saat ini, menurut Brenda Carranza, seorang pakar studi-studi keagamaan di Pontificia Universidade Catolica de Campinas, di Brasil, sama seperti saat Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Kuba. Pemerintah Kuba butuh membangun jembatan untuk berhubungan dengan dunia internasional. Dan, Gereja Katolik membantu membangun jalan ke arah sana. Itulah sebabnya Raul Castro mengatakan, Kuba yang sosialis memberikan kebebasan penuh untuk beragama dan menjalin hubungan yang baik dengan Gereja Katolik.
Dengan mengatakan itu, ia berharap, lewat Gereja, Kuba dapat memperoleh lagi legitimasi, lebih banyak kepercayaan, dan menarik investasi dari Barat. Gereja barangkali memang bisa menjadi jembatan yang menghubungkan Kuba dengan Barat. Kuba tidak bisa terus hidup ”di dalam tempurung”.
Oleh karena itu, Paus Benediktus XVI mengingatkan bahwa struktur Marxist Kuba ”tidak lagi cocok dengan realitas (dewasa ini)”. Kuba harus mengadopsi ”model baru”. Model mana yang akan diambil Kuba? Model Rusia atau model China? Yang pasti komunisme sudah mati! Komunisme terbukti gagal.
sumber : Kompas/Trias Kuncahyono
Prosesi Minggu Palma, Simbol Kemunafikan Manusia
Lewat bacaan prosesi daun palem, Saya dan anda kemudian mengetahui bagaimana Yesus pada massa itu memasuki Yerusalem. Yesus menunggang keledai dan dielu-elukan sebagai Dia yang datang dalam nama Tuhan. Ranting-ranting hijau dan menghamparkan pakaiannya diletakkan dijalan, hingga kaki keledai tak menapak ditanah.
Keledai dalam budaya Timur adalah simbol binatang damai, Karenanya kedatangan Yesus di Yerusalem dengan menunggang keledai melambangkan kedatanganNya sebagai Raja Damai. Dalam bacaan tidak disebut pemakaian daun palem, tetapi dalam tradisi Yahudi, daun palem adalah lambang kemenangan. ‘Hosana, Hosana Putra Daud” seruan para penduduk Yerusalem menyambut kedatangan Yesus
Pristiwa ini yang terus dirayakan setiap Minggu Palma sebagai kisah Ironi sekaligus pristiwa tentang kemunafikan manusia, Plin Plan, kurang lebih seperti massa Demonstran bayaran dalam konteks sekarang, yang hari ini berteriak "Hosana!", lalu esok harinya berteriak "Salibkan Dia!" dengan semangat dan gairah yang sama.
Saya selalu memahami Minggu Palma sekadar sebagai keramaian massa yang murahan, seperti pawai-pawai yang sering saya saksikan. Yang hari ini hiruk-pikuk dan ramai setengah mati, seolah-olah seluruh kota sesak bertabur bunga. Akan tetapi, keesokan harinya senyap dan mati, cuma menyisakan timbunan sampah di sudut-sudutnya. Tanpa Makna, tanpa Arti.
Namun, kalau begitu, apakah pentingnya Prosesi minggu Palma bagi Anda dan saya?
Minggu, 25 Maret 2012
Curhat, Jurus Politik Belas Kasihan Ala SBY
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mencurahkan isi hati alias curhat lagi. Yudhoyono, dalam silaturahim Partai Demokrat di kediaman pribadi di Cikeas, Bogor, Minggu (18/3) malam, curhat tentang adanya rencana kudeta terhadap dirinya.
Yudhoyono juga berkeluh kesah soal adanya ancaman terhadap keselamatan diri dan keluarganya. Ancaman itu, menurut Yudhoyono, disampaikan melalui pesan singkat kepada Ibu Negara Kristiani Herawati Yudhoyono.
Belum cukup juga, Yudhoyono pun menyebutkan dirinya diejek dan dihabisi pers dan lawan politiknya pada 2005. Ketika itu, menurut Yudohono, pers dan lawan politiknya menyebut dirinya peragu ketika mengambil keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak.
Soal ancaman kudeta, Yudhoyono semestinya tidak perlu curhat. Dia bisa langsung memerintahkan Badan Intelijen Negara menyelidikinya. Yudhoyono bisa memerintahkan aparat keamanan untuk menangkap dan mengambil langkah hukum terhadap pelaku.
Terkait dengan ancaman keselamatan terhadap diri dan keluarga, Yudhoyono semestinya tak perlu takut. Toh, sebagai presiden, Yudhoyono dan keluarganya mendapat penjagaan dan pengawalan ekstra ketat 24 jam penuh dari Paspampres.
Jika presiden yang mendapat fasilitas pengamanan masih merisaukan keselamatannya, bagaimana pula rakyat yang setiap hari keselamatannya terancam di angkutan umum atau di jalan raya? Belum cukup juga, Yudhoyono pun menyebutkan dirinya diejek dan dihabisi pers dan lawan politiknya pada 2005. Ketika itu, menurut Yudohono, pers dan lawan politiknya menyebut dirinya peragu ketika mengambil keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak.
Soal ancaman kudeta, Yudhoyono semestinya tidak perlu curhat. Dia bisa langsung memerintahkan Badan Intelijen Negara menyelidikinya. Yudhoyono bisa memerintahkan aparat keamanan untuk menangkap dan mengambil langkah hukum terhadap pelaku.
Terkait dengan ancaman keselamatan terhadap diri dan keluarga, Yudhoyono semestinya tak perlu takut. Toh, sebagai presiden, Yudhoyono dan keluarganya mendapat penjagaan dan pengawalan ekstra ketat 24 jam penuh dari Paspampres.
Yudhoyono semestinya juga tidak perlu menuding pers dan lawan politik menghujatnya sebagai presiden peragu. Sebagai negarawan, Yudhoyono semestinya memandangnya sebagai kritik.
Pers dan lawan politik bukan menjelek-jelekkan. Mereka sekadar menyampaikan dan memberitakan hal jelek. Menjelek-jelekkan berbeda dengan memberitakan hal jelek. Menjelek-jelekkan artinya mencari-cari kesalahan atau kejelekan seseorang. Memberitakan hal yang jelek artinya menyampaikan sikap atau perilaku yang tidak pas dari seseorang.
Oleh karena itu, Yudhoyono seharusnya memandang semua itu sebagai risiko jabatan. Semua presiden mengalami hal serupa. Presiden Soekarno, misalnya, bahkan tidak Cuma menghadapi ancaman, tetapi juga beberapa kali mengalami upaya pembunuhan. Toh, Bung Karno tidak perlu curhat soal itu.
Sesungguhnya, bukan kali ini saja Presiden Yudhoyono curhat tentang adanya ancaman keselamatan terhadap dirinya. Curhat serupa pernah dilakukan Presiden dalam konferensi pers di halaman Istana Negara pada 17 Juli 2009.
Lalu, pada 7 Agustus 2010, Yudhoyono juga curhat di depan peserta Sekolah Calon Tamtama Rindam III Siliwangi Jawa Barat. Karena terlampau sering mengungkapkan keluh kesahnya, jangan salahkan bila publik menilainya secara kritis. Publik antara lain menilai jangan-jangan Yudhoyono tengah memasang jurus politik belas kasihan.
Artinya, Yudhoyono seolah ingin mengatakan dirinya terancam dan teraniaya agar publik berbelas kasih. Faktanya, alih-alih berbelas kasih, publik justru memandangnya secara negatif. Presiden juga manusia. Manusiawi belaka jika Presiden Yudhoyono ingin menumpahkan isi hatinya. Namun, curhat itu semestinya dilakukan terbatas, tidak diumbar ke publik.
SBY itu Presiden RI ke 8
Dua tokoh yang terlewatkan itu adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat. Keduanya tidak disebut, bisa karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja.
Sjafruddin Prawiranegara adalah Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno dan Moh. Hatta ditangkap Belanda pada awal Agresi Militer II, sedangkan Mr. Assaat adalah Presiden RI saat Republik ini menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (1949).
Pada tanggal 19 Desember 1948, saat Belanda melakukan Agresi Militer II dengan menyerang dan menguasai ibu kota RI saat itu di Yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu terdengar oleh Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Sjafruddin Prawiranegara
Sjafruddin Prawiranegara |
Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafrudin mengusulkan dibentuknya pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI. Padahal, saat itu Soekarno - Hatta mengirimkan telegram berbunyi, 'Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Iboe Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra'.
Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government).
Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu 'demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara'.
Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI 'diproklamasikan'. Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinet-nya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.
Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.
Mr. Assaat
|
Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani di Belanda, 27 Desember 1949 diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia. Negara bagian lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain. Karena Soekarno dan Moh. Hatta telah ditetapkan menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia.
Assaat adalah Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI. Peran Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun, dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampak bahwa sejarah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernah terputus sampai kini. Kita ketahui bahwa kemudian RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Agustus 1950. Itu berarti, Assaat pernah memangku jabatan Presiden RI sekitar sembilan bulan.
Dari fakta ini, dengan demikian, SBY adalah presiden RI yang ke-8.
Urutan Presiden RI yang 'kronologis' adalah sebagai berikut : Soekarno (diselingi oleh Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat), Soeharto, B.J. Habibie, (Alm.) KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Demo BBM VS Intelektualitas
DI tengah merebaknya demonstrasi mahasiswa menentang kenaikan harga BBM, tiba-tiba menyeruak pernyataan Mendikbud M Nuh yang mengimbau mahasiswa untuk mengedepankan intelektualitas dalam mengkritisi suatu kebijakan pemerintah. Menurut dia, jika ada kebijakan yang dinilai tidak memihak rakyat, mahasiswa harus merasa tertantang menanggapinya dengan mengedepankan intelektualitas dan membuka ruang-ruang diskusi.
Menarik digarisbawahi dari pernyataan itu adalah kosakata ”intelektualitas”. Menyimak pernyataan Menteri, seolah-olah hendak menegaskan demo mahasiswa tidak menggambarkan intelektualitas. Benarkah berunjuk rasa tidak menggambarkan intelektualitas?
Sejatinya demonstran itu diharapkan menjadi pilar intelektual. Mereka diharapkan menjadi kelompok inti pembaruan masyarakat yang bobrok. Idealnya mereka bisa mendorong pembaruan lewat ruang publik. Demonstran bertugas mendinamiskan ruang publik. Sebagaimana ditegaskan filsuf Jurgen Habermas, ruang publik bisa hidup bila diisi dengan wacana, diskursus, debat, dan pertemuan-pertemuan. Hidupnya ruang publik ini akan memberi peluang untuk meraih cita-cita kehidupan bersama yang berujung kepada kesejahteraan.
Salah satu wujud ruang publik yang ada di negeri ini adalah demonstrasi. Secara harfiah demonstrasi berarti pernyataan protes yang dikemukakan secara massal (KBBI, 2001:250), dan melahirkan padanan kata unjuk rasa. Mereka ingin menunjukkan perasaannya tapi sebagian besar perasaan tak sepaham.
Tatkala ada mahasiswa menyatakan ”perasaan tak sepaham”, sesungguhnya mereka tengah menjalankan fungsi intelektual. Kita misalnya, menjalankan fungsi intelektual bilamana bersikukuh dengan hati nurani. Kita berhati nurani ketika berkesadaran moral, yakni sadar bahwa mutlak memilih yang benar. Kesadaran ini berasal dari diri sendiri, dan tidak dapat ditawar-tawar. Kalau kita tulus menjalankan fungsi intelektual sudah barang tentu harus mengalahkan pergolakan batin dan menempatkan hati nurani sebagai pemenang.
Rasanya benar jika Vaclav Havel berpandangan kaum intelektual itu merupakan hati nurani bangsa. Maka, bisa dikatakan demo mahasiswa yang menentang kenaikan harga BBM merupakan pengejewantahan nurani bangsa. Pendemo itu tahu memilih yang benar. Bahwa membela penderitaan rakyat adalah tindakan yang benar. Pendemo tahu —berdasarkan pengalaman sebelumnya— rakyat senantiasa menderita akibat kenaikan harga BBM.
Persoalannya kini, apa pasal Menteri Nuh sampai mengeluarkan pernyataan itu? Tafsir yang kemudian muncul adalah Mendikbud bisa jadi melihat bentuk demo terkait BBM yang belakangan terjadi selalu diwarnai kekerasan berbuntut ricuh. Di sinilah ada bias intelektualitas dimaksud. Demonstran sejati sudah barang tentu tak mau diperbudak nafsu kekerasan. Demonstran sejati menjunjung tinggi kesakralan intelektualitas, dan pada akhirnya mampu mengukur sejauh mana menggunakan kebebasannya.
Albert Camus (1974) pernah mengingatkan tak seorang pun berhak atas kebebasan mutlak. Kebebasan itu ada batasnya. Kebebasan seseorang telah melewati batas, alias kebablasan, ketika mulai merambah kebebasan orang lain. Boleh apa pun, menurut seseorang merupakan representasi kebebasan. Tetapi kalau itu merambah kebebasan orang lain, seumpama mengganggu kepentingan orang lain maka bukanlah kebebasan. Di sinilah sebagian pendemo belum menyadarinya.
Celakanya, banyak pendemo membangun batas tipis antara kebebasan dan ketakberadaban. Mereka tengah mempermainkan arti deskriptif dari kebebasan dan lebih menikmati arti emosionalnya sehingga tak menyadari telah melahirkan krisis kebebasan. Orang bijak sering mengingatkan bahwa kebebasan mutlak bukanlah pengukur keluhuran manusia. Kebebasan bagi manusia luhur adalah yang memberikan makna keberadaan kita sebagai manusia, kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi.
Apakah demo BBM telah memenuhi kaidah kebebasan sejati? Jawabannya bisa diberikan melalui ilustrasi berikut. Ketika ada demo BBM, pengunjuk rasa membakar ban di tengah jalan sehingga pemakai jalan lain terganggu. Adakalanya pemakai jalan terpaksa memutar atau berbalik arah. Dalam hal ini pendemo merasa bebas saja membakar ban di tengah jalan tetapi pemakai jalan lain menjadi tidak bebas menggunakan fasilitas umum itu. Kebebasan pendemo itu telah merambah kebebasan pemakai jalan. Artinya, pendemo salah menafsirkan makna kebebasan.
Manakala demo BBM menyalahi makna kebebasan sejati, saat itulah demo dianggap mengingkari fungsi intelektual. Wajar jika kemudian M Nuh merasa perlu mengimbau untuk kembali pada intelektualitas mahasiswa. Memang demo tak perlu berbuat kekerasan. Ketika demo itu diwarnai kekerasan, apalagi berujung ricuh, tentu menjadi pertanyaan lain: inikah demokrasi? Mereka yang salah dalam demo BBM merasa sudah menemukan demokrasi. Padahal kalau mau dikatakan demokrasi, sebenarnya hanya demokrasi yang terdistorsikan. Ada sesat pikir atas mempraktikkan kebebasan
Menarik digarisbawahi dari pernyataan itu adalah kosakata ”intelektualitas”. Menyimak pernyataan Menteri, seolah-olah hendak menegaskan demo mahasiswa tidak menggambarkan intelektualitas. Benarkah berunjuk rasa tidak menggambarkan intelektualitas?
Sejatinya demonstran itu diharapkan menjadi pilar intelektual. Mereka diharapkan menjadi kelompok inti pembaruan masyarakat yang bobrok. Idealnya mereka bisa mendorong pembaruan lewat ruang publik. Demonstran bertugas mendinamiskan ruang publik. Sebagaimana ditegaskan filsuf Jurgen Habermas, ruang publik bisa hidup bila diisi dengan wacana, diskursus, debat, dan pertemuan-pertemuan. Hidupnya ruang publik ini akan memberi peluang untuk meraih cita-cita kehidupan bersama yang berujung kepada kesejahteraan.
Salah satu wujud ruang publik yang ada di negeri ini adalah demonstrasi. Secara harfiah demonstrasi berarti pernyataan protes yang dikemukakan secara massal (KBBI, 2001:250), dan melahirkan padanan kata unjuk rasa. Mereka ingin menunjukkan perasaannya tapi sebagian besar perasaan tak sepaham.
Tatkala ada mahasiswa menyatakan ”perasaan tak sepaham”, sesungguhnya mereka tengah menjalankan fungsi intelektual. Kita misalnya, menjalankan fungsi intelektual bilamana bersikukuh dengan hati nurani. Kita berhati nurani ketika berkesadaran moral, yakni sadar bahwa mutlak memilih yang benar. Kesadaran ini berasal dari diri sendiri, dan tidak dapat ditawar-tawar. Kalau kita tulus menjalankan fungsi intelektual sudah barang tentu harus mengalahkan pergolakan batin dan menempatkan hati nurani sebagai pemenang.
Rasanya benar jika Vaclav Havel berpandangan kaum intelektual itu merupakan hati nurani bangsa. Maka, bisa dikatakan demo mahasiswa yang menentang kenaikan harga BBM merupakan pengejewantahan nurani bangsa. Pendemo itu tahu memilih yang benar. Bahwa membela penderitaan rakyat adalah tindakan yang benar. Pendemo tahu —berdasarkan pengalaman sebelumnya— rakyat senantiasa menderita akibat kenaikan harga BBM.
Persoalannya kini, apa pasal Menteri Nuh sampai mengeluarkan pernyataan itu? Tafsir yang kemudian muncul adalah Mendikbud bisa jadi melihat bentuk demo terkait BBM yang belakangan terjadi selalu diwarnai kekerasan berbuntut ricuh. Di sinilah ada bias intelektualitas dimaksud. Demonstran sejati sudah barang tentu tak mau diperbudak nafsu kekerasan. Demonstran sejati menjunjung tinggi kesakralan intelektualitas, dan pada akhirnya mampu mengukur sejauh mana menggunakan kebebasannya.
Albert Camus (1974) pernah mengingatkan tak seorang pun berhak atas kebebasan mutlak. Kebebasan itu ada batasnya. Kebebasan seseorang telah melewati batas, alias kebablasan, ketika mulai merambah kebebasan orang lain. Boleh apa pun, menurut seseorang merupakan representasi kebebasan. Tetapi kalau itu merambah kebebasan orang lain, seumpama mengganggu kepentingan orang lain maka bukanlah kebebasan. Di sinilah sebagian pendemo belum menyadarinya.
Celakanya, banyak pendemo membangun batas tipis antara kebebasan dan ketakberadaban. Mereka tengah mempermainkan arti deskriptif dari kebebasan dan lebih menikmati arti emosionalnya sehingga tak menyadari telah melahirkan krisis kebebasan. Orang bijak sering mengingatkan bahwa kebebasan mutlak bukanlah pengukur keluhuran manusia. Kebebasan bagi manusia luhur adalah yang memberikan makna keberadaan kita sebagai manusia, kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi.
Apakah demo BBM telah memenuhi kaidah kebebasan sejati? Jawabannya bisa diberikan melalui ilustrasi berikut. Ketika ada demo BBM, pengunjuk rasa membakar ban di tengah jalan sehingga pemakai jalan lain terganggu. Adakalanya pemakai jalan terpaksa memutar atau berbalik arah. Dalam hal ini pendemo merasa bebas saja membakar ban di tengah jalan tetapi pemakai jalan lain menjadi tidak bebas menggunakan fasilitas umum itu. Kebebasan pendemo itu telah merambah kebebasan pemakai jalan. Artinya, pendemo salah menafsirkan makna kebebasan.
Manakala demo BBM menyalahi makna kebebasan sejati, saat itulah demo dianggap mengingkari fungsi intelektual. Wajar jika kemudian M Nuh merasa perlu mengimbau untuk kembali pada intelektualitas mahasiswa. Memang demo tak perlu berbuat kekerasan. Ketika demo itu diwarnai kekerasan, apalagi berujung ricuh, tentu menjadi pertanyaan lain: inikah demokrasi? Mereka yang salah dalam demo BBM merasa sudah menemukan demokrasi. Padahal kalau mau dikatakan demokrasi, sebenarnya hanya demokrasi yang terdistorsikan. Ada sesat pikir atas mempraktikkan kebebasan
Langganan:
Postingan (Atom)